Thursday, August 23, 2007

Blok Perdagangan Tidak Lagi Cukup: Perlunya Mata Uang Tunggal

Pentingnya kepastian nilai tukar dalam perekonomian global menyebabkan kebutuhan intergrasi ekonomi tidak lagi hanya berupa integrasi perdagangan namun berkembang menjadi integrasi keuangan. Integrasi keuangan secara penuh terjadi pada saat masing-masing negara dalam kawasan tersebut telah menghadapi kebijakan yang sama dalam keuangan (single set of rules), di mana investor dan penerbit aset keuangan mempunyai akses yang sama terhadap pasar keuangan (equal access) dan diperlakukan secara sama (treated equally) ketika beroperasi di sektor keuangan (Baele et al. 2004). Integrasi keuangan merupakan suatu upaya mengurangi dan menghapus hambatan arus keuangan antar negara di sebuah kawasan. Integrasi keuangan ini juga membutuhkan pengembangan infrastruktur keuangan regional untuk mendukung kelancaran dan meningkatkan transaksi keuangan lintas batas serta memelihara kestabilan keuangan dan nilai tukar di kawasan. Dalam jangka panjang integrasi keuangan dapat menuju kepada penyatuan dan integrasi moneter regional. Penyatuan mata uang berarti penghapusan rintangan untuk melakukan bisnis pada pasar yang besar, sehingga perdagangan dan investasi lintas negara akan meningkat. Pada tahap selanjutnya kondisi ini akan mendorong tingkat kompetisi industri dan pasar. Kompetisi bisnis akan membawa dampak yang baik karena akan memberikan oportunitas untuk mengembangkan bisnis, dan baiki industri yang lemah, akan berusaha bekerja lebih keras untuk beradaptasi terhadap bisnis global.

Integrasi keuangan dalam definisi Krugman dan Obstfeld (2000) disebut sebagai Optimum Currency Area (OCA). OCA merupakan sebuah kelompok negara-negara dalam suatu kawasan yang perekonomiannya terkait erat, terutama karena faktor perdagangan dan mobilitas faktor produksi, yang menetapkan suatu nilai tukar tetap dan diantara negara-negara anggota dan ditandai dengan pembentukan mata uang tunggal. OCA dapat terbentuk dengan syarat berikut.

1. Interdependensi perdagangan. Interdependensi perdagangan perlu karena keseragaman nilai mata uang akan menghemat biaya transaksi dan mengurangi risiko yang berkaitan dengan penggunaan mata uang yang berbeda
2. Respon terhadap kejutan bersifat simetris. Negara-negara dengan respon terhadap kejutan yang simetris memungkinkan untuk mengambil kebijakan moneter yang sama. Determinan dari kejutan yang simetris ini adalah tingkat industri atau diversifikasi produk (Shin dan Wang ,2002)
3. Mobilitas faktor produksi. Adanya mobilitas faktor produksi diantara negara-negara anggota akan dapat meredam kejutan di dalam negeri tanpa menimbulkan biaya penyesuaian yang tinggi.
4. Konvergensi kebijakan makroekonomi. Apabila tidak ada konvergensi dalam kebijakan ekonomi, maka negara-negara dalam kawasan tersebut akan menghasilkan respon kebijakan yang mungkin saling bertolak belakang.

Secara empiris, tidak semua integrasi ekonomi mampu menghasilkan integrasi keuangan yang sukses. Berdasarkan best practice yang dilakukan oleh Uni Eropa, maka salah satu alasan digunakannya Economic and Monetary Union (EMU) adalah untuk medorong keterbukaan ekonomi yang lebih besar dan stabilitas nilai tukar yang lebih tinggi di kalangan negara anggota. Risiko mata uang yang mengakibatkan menurunnya perdagangan memotivasi penyatuan mata uang di Eropa (EU Commission, 1990) dan secara kuat berhubungan dengan intervensi pasar uang oleh bank sentral (Bayoumi and Eichengreen 1998). Inggris berminat masuk ke EMU karena tindakan ini akan berdampak pada sektor bisnis, dan pada akhirnya akan memperbaiki kinerja industri Inggris secara keseluruhan. Bergabungnya Inggris ke EMU juga memiliki implikasi makroekonomi yang penting bagi industri Inggris. Hilangnya kebijakan moneter yang independen dan fleksibilitas nilai tukar nominal akan secara fundamental merubah perekonomian dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan ekonomi dan kejutan ekonomi yang tidak diinginkan. Sebagian besar penyesuaian ini akan terjadi melalui perubahan kondisi industri. Analisis mengenai bagaimana mata uang tunggal memiliki efek terhadap kondisi penawaran terlihat pada sektor bisnis Inggris yaitu (EU Commission, 1990)

1. Efek langsung adalah hilangnya biaya konversi mata uang, menurunnya volatilitas mata uang di kawasan Eropa, transparansi harga yang lebih tinggi
2. Efek jangka pendek dan menengah adalah menaikkan perdagangan, investasi dan perubahan mekanisme penyesuaian ekonomi
3. Efek jangka panjang adalah EMU mendorong kompetisi dan mempengaruhi tren dalam konsentrasi dan spesialisasi.

Penyatuan mata uang Euro melalui proses sepakat dan kontra terhadap stabilisasi nilai tukar. Namun setelah krisis Asia muncul argumentasi yang kuat bahwa ketika suatu negara menganut rejim nilai tukar yang fleksibel maka negara-negara tersebut perlu melakukan stabilisasi nilai tukar. Argumentasi teori menunjukkan bahwa nilai tukar yang fleksibel menyebabkan nilai tukar lebih mudah menyesuaikan kejutan asimetrik pada suatu perekonomian, sedangkan dari perspektif ekonomi mikro, volatilitas nilai tukar yang rendah berhubungan dengan biaya transaksi perdangangan internasional dan aliran modal yang rendah yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Adanya mata uang tunggal juga memberi manfaat semacam rejim nilai tukar tetap dan akan menghindarkan negara dari fenomena depresiasi “beggar-thy-neighbour” dalam integrasi ekonomi

(apakah Indonesia siap berintegrasi keuangan di ASEAN, bahasan berikutnya ya... btw tulisan ini adalah bagian dari paper yang akan dipresentasikan di Widya Mandala Surabaya, 4 September mendatang)

EPA Japan Indonesia

benarkah EPA Jepang Indonesia cukup menguntungkan? dimana posisi Indonesia dalam kerjasama ini? sedikit tulisan mengenai kondisi trade Indonesia Jepang (tulisan kecil ini bagian dari tulisan yang sedang di proses dalam sebuah jurnal di Jepang)

Although Indonesia-Japan trade increased, the export-import share was apt to decrease. After 1998, export value to Japan was around 15.99%-23.30% of export total value. This proportion was smaller than many periods before. The same condition happened in import proportion. After crisis in 1999, Indonesia import proportion from Japan was around 8.91%-16.10%. The condition showed that Japan was not the main destination and source of trade for Indonesia. The borderless trade and regional trade agreement encouraged Indonesia to open its trade broadly.

The structure of Indonesia-Japan bilateral trade was an exporter of primary commodities and importer of industrial, capital goods and machinery inputs. This condition did not always give some benefits to Indonesia due to characteristics of primary commodities were unpreserved, low price-low value added, and depend on season. On the contrary, machinery inputs usually have a higher price as result of technologies attached. The ten highest import products in 2005 were road vehicles (18.23%), iron and steel (13.08%), general industrial machinery (11.78%), machinery specialized for particular industries (10.46%), power generating machinery (9.22%), electric machinery (5.21%), metalworking machinery (4.57%), organic chemicals (4.02%), artificial resins and plastics materials (3.49%), manufactures of metal (3.26%) and others (16.68%)

Primary products like mining, forestry, and fish dominated Indonesian export to Japan. The disadvantages of primary product export were relatively cheap price, so the import value would be low, seasonal dependency for agricultural products, and continuity resources for mining-based products. The mining export commodities in 2005 were gas and natural manufactured (28.58%), petroleum and petroleum products (18.53%), metalliferous ores and metal scrub (10.59%), coal, cokes and briquettes (5.98%) and non-ferrous metals (2.51%). The agriculture export products were cork and woods (4.51%) and fish, crustaceans and mollusks (2.51%). The rest of ten highest export commodities were industrial outputs like electrics machinery, office machines and automatic data processing equipments and textiles yarn, fabrics and related products.

The robust export performance of manufacturing, combined with growth in manufacturing imports, confirmed that Indonesia tried to peruse an outward-oriented industrialization strategy helped by trade liberalization and strategic industry policy.

The linkage between the import of intermediate goods and changes in export structure supports argument that: (a) import of intermediate inputs and capital goods are the major determinant of the changes in the export structure; and (b) trade liberalization measures improve firms ability to import the technology and intermediate inputs needed to adapt to changing global demand patterns. Based on structure of Indonesia-Japan trade, Indonesia ought to develop manufactured export to Japan due to find a greater value added from international trade.

Monday, August 20, 2007

benefits n misunderstanding WTO

There are ten benefits and misunderstandings of WTO trading system (www.wto.org). Ten benefits are (i) The system helps promote peace, (ii) Disputes are handled constructively, (iii) Rules make life easier for all, (iv) Freer trade cuts the costs of living, (v) It provides more choice of products and qualities, (vi) Trade raises incomes, (vii) Trade stimulates economic growth, (viii) The basic principles make life more efficient, (ix) Governments are shielded from lobbying, and (x) The system encourages good government.

In the other side, ten misunderstanding that is mean the costs of WTO are (i) The WTO dictates policy, (ii) The WTO is for free trade at any cost, (iii), Commercial interests take priority over development, (iv) over the environment, (v) over health and safety, (vi) The WTO destroys jobs, worsens poverty, (vii) Small countries are powerless in the WTO, (viii) The WTO is the tool of powerful lobbies, (ix) Weaker countries are forced to join the WTO, and (x) The WTO is undemocratic.


This agreement can not be implemented easily, especially for the developing countries. There are many difficulties and cost of WTO agreement implementation. The problem lies not only with the current negotiating process. The problem is more fundamental: the WTO’s structure, rules, and processes are systematically biased against the interests of developing countries.

Globalization: pros n cons

seperti Stiglitz baru-baru ini bilang,
saya tidak anti globalisasi, namun globalisasi perlu dimanage


Trade liberalization is a condition that we can keep away from. The world is becoming more globalized; there is no doubt about that. Globalization brings with it many new challenges, and in the field of world trade, the challenge of gaining market access in the new global economy calls for a consistent rethinking of strategy. Sometimes the discussion of trade liberalization is parallel with the emerging of regional trade block. If WTO is connected with globalization, trade block is related to regionalization phenomenon. There is no contradiction between trade regionalization and globalization. Global economy integration needs some new trade block establishment.

Even though globalization is a condition that can not be avoided, there are many pros and cons. There are many costs of trade liberalization and FTA, beside their advantages. The pros part thinks trade globalization and integration as a beneficial movement that can promote economic growth, development and poverty reduction. The resulting integration of the world economy has raised living standards around the world. Many developing countries have substantially increased their exports of manufactures and services relative to another condition before. Opening up their economies to the global economy has been essential in enabling many developing countries to develop competitive advantages in the manufacture of certain products. There is considerable evidence that more outward-oriented countries tend consistently to grow faster than ones that are inward-looking.

In the other side, the cons say that trade globalization and integration tend to make a new “oligopolies” and “monopolies” market. The greatest impact will be experienced by developing countries. For most developing countries, many negotiating that are dominated by industrialized countries have been marginalized their position in the economy. Globalization can make an adverse demand-side effect to Gross Domestic Product cause of import growth will be greater than export growth.

Some previous researches find out three costs of globalization and free trade area (FTA). First is trade diversification. FTA causes the trade or economic diverting from efficient non member economic to non efficient member economic. This condition occurs when trade barriers are removed that create a new cost, if the trade diverting is larger than trade creation, it will perform static welfare loss. This problem can be solved through (i) commodities are not perfect substitution, (ii) no trade diverting if non-member tariff is small enough, and (iii) if member trade barriers is quite small, cost and price should be similar with non-member countries. Second is decreasing tariff revenue for several countries. The import tax revenue will decrease when trade is diverted to the member country as a consequence of agreement. The last cost of FTA is adjustment cost. The adjustment cost is a short run cost. The cost arise cause of industries rationalization for efficiency and competitiveness.

best pratice ekonomi - bisakah?

Indikator-indikator ekonomi menunjukkan bahwa proses pemulihan ekonomi masih terus berlangsung. Kondisi ekonomi yang terjadi 10 tahun paska krisis sudah menunjukkan beberapa perbaikan, namun belumlah mampu berada pada titik yang terbaik. Lemahnya implementasi kebijakan ekonomi dan masalah-masalah ekonomi serta non ekonomi yang tidak terpecahkan memiliki andil atas lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia. Hasil yang dicapai dalam perbaikan sektor finansial tidak diiiringi dengan pencapaian yang sama oleh sektor non finansial. Situasi industri dan investasi samapai saat ini masih memprihatinkan, sehingga terlihat jelas kesenjangan antara sektor riil dan sektor keuangan. Stabilitas ekonomi Indonesia pun tampaknya belum menunjukkan kondisi yang relatif stabil terutama bila dilihat dari adanya aliran modal jangka pendek, “mini krisis” yang terjadi pada tahun 2005, sektor industri yang stagnan, tidak dipercayanya sebagian LC Indonesia, modal asing masuk yang rendah dan indikator-indikator yang lain. Kondisi ini seolah-olah menggambarkan bahwa Indonesia terbang dengan satu mesin, yaitu mesin pasa keuangan, sedangkan mesin-mesin yang lain masih mati.

Bila dilihat dari sisi kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah, tampak permasalahan utama adalah pada implementasi kebijakan. Masing sektor ekonomi di Indonesia memiliki tantangan yang berbeda. Misalnya sektor keuangan masih perlu melakukan penyelesian implementasi API, sektor industri dituntut memiliki kebijakan dan pola pembangunan industri yang sesuai dengan kemampuan masing-masing kluster, sektor fiskal masih ditantang dengan belum terselesaikannya masalah tax reform, sektor sosial masih perlu memikirkan pengentasan kemiskinan dan lain sebagainya. Namun di balik semua itu tantangan utama yang dihadapi oleh Indonesia, adalah penyiapan institusi, regulasi, infrastruktur dan sumber daya manusia yang mampu mendukung pelaksanaan reformasi secara utuh. Kebijakan yang dilakukan di Indonesia hampir seluruhnya merupakan “best practices” yang ada di dunia, padahal di sisi lain, secara institusi, infrastruktur dan sumber daya manusia, Indonesia belum sampai pada tahapan best practices. Kondisi ini harus dipecahkan melalui perbaikan-perbaikan institusional dan sumber daya manusia, agar kondisinya semakin mendekati kondisi ideal, sehingga pelaksanaan kebijakan dapat berjalan dengan optimal.

(tulisan ini merupakan draft sub bab buku 10 tahun paska krisis yang ditulis untuk PSAP UGM)

Wednesday, August 15, 2007

Redisain jalur mekanisme transmisi

Krisis ekonomi Indonesia yang banyak diklaim bersumber dari adanya krisis keuangan menyebabkan perbaikan sektor keuangan menjadi salah satu tindakan yang harus diperhitungkan dengan seksama. Salah satu tiang dari sektor keuangan adalah sektor moneter. Pembicaraan mengenai kebijakan moneter berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai mekanisme transmisi. Mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah suatu proses bagaimana kebijakan moneter untuk merubah GDP riil dan inflasi. Banyak pihak masih melihat mekanisme transmisi moneter seperti halnya sebuah black-box (Mishkin, 1995) karena dipengaruhi oleh (i) perubahan perilaku bank sentral, perbankan dan pelaku ekonomi dalam aktivitas ekonomi dan keuangan, (ii) adanya senjang antara diluncurkannya kebijakan dan impaknya terhadap tujuan akhir, dan (iii) terjadinya perubahan jalur-jalur transmisi moneter. Akibat adanya krisis moneter yang terjadi di Indonesia, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter merasa perlu melakukan redisain jalur mekanisme transmisi sebagai upaya untuk memperbaiki kinerja sektor moneter.
Redisain mekanisme transmisi sektor moneter dapat dilihat dari perkembangan perubahan UU Bank Indonesia dan jangkar kebijakan moneter yang digunakan. Perubahan terhadap UU Bank Indonesia tentu saja akan berimplikasi pada tugas Bank Indonesia.
pertanyaannya dari redisain ini apakah terjadi kondisi yang lebih baik?

terlihat bukan? paska krisis lebih baik, namun tidak lebih baik dibandingkan sebelum krisis
so....????

Saturday, August 11, 2007

Inflasi yang rendah: suatu keberhasilan atau kebetulan

Perekonomian Indonesia akhir2 ini dianggap mempunyai kinerja yang cukup baik. Nilai rupiah mengalami penguatan, meski sempat terjadi fluktuasi, Neraca pembayaran juga mengalami perbaikan. Surplus neraca pembayaran menyebabkan “membengkaknya” cadangan devisa. Keuntungan dari kondisi ini tentu saja adalah menguatnya salah satu faktor fundamental yang menentukan nilai kurs. Keuntungan surplus neraca pembayaran ini melalui mekanisme transmisi kebijakan moneter secara perlahan mampu menekan inflasi menjadi cukup rendah.

Namun pada sisi lain muncul kecurigaan, apakah benar pencapaian inflasi yang rendah tadi merupakan buah dari sistem inflation targeting yang diterapkan oleh Bank Indonesia sebagai tujuan tungga kebijakan moneternya? Bila kita tidak mengurangi rasa apresiasi kita terhadap Bank Indonesia maka mungkin kita dapat berkata bahwa ini adalah andil besar dari kemampuan Bank Indonesia untuk mengelola instrumen kebijakannya sehingga target yang ditetapkan dapat dicapai. Di sisi lain, kita juga tidak dapat menutup mata bahwa pencapaian inflasi yang rendah ini bukan hanya karena kinerja sektor moneter, namun lebih karena melemahnya sektor riil. Kenaikan harga BBM tahun 2005 menyebabkan penurunan daya beli sehingga konsumsi rumah tangga mengalami stagnasi. Investasi melalui kredit perbankan juga tersendat, walaupun ada aliran kredit. Kredit yang tidak dicairkan (undisbursed loan) mencapai Rp 160 triliun. Jadi walaupun sepanjang tahun Bank Indonesia melakukan tindakan-tindakan yang ekspansif berupa penurunan suku bunga, yang seharusnya bisa dipahami bila hal ini berhasil dilakukan maka akan mendorong terjadinya inflasi. Implikasinya, bila terjadi inflasi berarti Bank Indonesia gagal menjaga stabilitas harga. Fakta yang terjadi, penurunan inflasi yang terjadi tidaklah signifikan. Hal ini membuktikan bahwa pukulan ikutan kenaikan harga BBM pada 2005, memiliki efek yang kuat dan lead yang panjang.

Instrumen yang dipakai Bank Indonesia ternyata tetap tidak mampu menggerakkan sektor riil. Masyarakat tidak cukup responsif terhadap suku bunga. Padahal suku bunga adalah instrumen andalan Bank Indonesia dalam mencapai tujuan kebijakannya. Ketika pergerakan suku bunga yang ekspansif ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap inflasi, maka tampaknya Bank Indonesia masih akan bermain dengan suku bunga ini untuk lebih mendorong pergerakan sektor riil dan mencapai pertumbuhan. Pertanyaannya adalah tepatkah tugas pemerintah sebagai agen pertumbuhan didelegasikan ke Bank Indonesia yang seharusnya menjaga stabilitas harga? Apakah ini tidak menimbulkan konflik kepentingan?

Bajuri atau Doel, Fausi atau Adang????

Kalo keluarganya Doel pilih Fausi, maka keluarganya Bajuri pilih Adang…
Hmmmmmm heboh juga, dan ini selalu terjadi. Dimana pun, kapan pun, mulai dari njago lurah, sampai ke njago presiden.
Sebenarnya perilakunya sama. Menebar pesona, yang kadang tidak terwujudkan ketika mereka benar-benar menjadi lurah atau presiden.
Masing-masing membawa simbol, slogan dan atribut masing-masing. Kalo njago lurah, ya mulai dari bergambar ketela pohon, sampai ke pacul. Dan simbol ini akan semakin seru bila sampai ke tingkat yang lebih tinggi.
Tentu sajalah, masing-masing memiliki tim sukses.. yang ga tanggung-tanggung, mulai yang ahli komunikasi, ahli strategi, sampai ke ‘preman’ yang dapat diharapkan mampu ‘meneduhkan’ suasana.

Kalo kita melihat secara teori ekonomi publik, katakanlah begitu (hehehe) terdapat 3 aspek penting sebuah pilkada adalah electoral regulation, electoral process dan electoral law enforcement. Tiga aspek ini saling kait-mengkait, namun demikian, pada aspek electoral regulation-lah sebuah proses pemilihan akan sangat ditentukan. Bila dipandang dari sisi teori ekonomi publik, pilkada dapat diparalelkan dengan teori mengenai pilihan publik atau public choice. Secara teoritis terdapat tiga agen yang berperan dalam pilihan publik yaitu (i) Pemilih sebagai konsumen, (ii) Politisi sebagai suplier, dan (iii) Birokrat pemerintah sebagai partisipan politis.

Asumsi utama dari pilihan publik adalah masyarakat (pemilih, politisi dan birokrat) berperilaku yang sama dalam arena politik seperti mereka bertindak di pasar, yaitu dimotivasi dengan keinginan pribadi. Bila pilihan publik dikaitkan dengan mekanisme pasar atau diparalelkan dengan konsep keseimbangan pasar untuk barang swasta, maka akan muncul yang disebut sebagai keseimbangan politis yaitu kesepakatan mengenai siapa kandidat yang akan dipilih melalui proses politik.

Aspek penting dalam pilkada adalah para pemilih bisa secara langsung memilih kepala daerah (gubernur-wakil, bupati-wakil, dan wali kota-wakil) yang diinginkan. Implikasi dari sistem demikian adalah para calon yang lebih banyak dikenal (public figure) dan memperoleh kepercayaan (trust) dari masyarakatlah yang akan diuntungkan. Untuk itu, para calon kepala daerah tidak cukup hanya mengandalkan modal sosial dan politik (social and political capital), tetapi juga material, terutama uang.

Dalam masyarakat yang sederhana, uang dalam pilkada, lebih banyak digunakan dalam memobilisasi dukungan, sedangkan dalam masyarakat modern, uang itu lebih banyak digunakan untuk biaya iklan, baik melalui media elektronik maupun media massa. Hal ini terjadi karena model kampanye yang dipakai bukan pengerahan massa, tetapi melalui dua media komunikasi itu. Dan itu yang lebih banyak terjadi sekarang. Para calon biasanya berusaha meyakinkan pemilih melalui iklan-iklan. Para calon yang mampu membayar iklan lebih banyak memiliki peluang lebih popular di kalangan pemilih.

Pada dasarnya proses pilkada itu sendiri berpotensi terjadi penyalahgunaan uang maupun wewenang yang disebut sebagai logrolling. Logrolling adalah praktek perdagangan hak pilih untuk mencapai ukuran tertentu yang tidak akan dicapai oleh kelompok lain. logrolling menimbulkan pro dan kontra. Kelompok yang pro dengan logrolling berargumentasi bahwa logrolling merupakan jalan bagi pemilih untuk mengekspresikan intensitas rasanya dan merupakan satu-satunya jalan untuk kelompok minoritas mendapat peran, sedangkan pendapat yang kontra menunjukkan bahwa logrolling akan menyebabkan meningkatnya ukuran kepemerintahan sehingga tidak efisien. Kondisi ini akan memunculkan mekanisme bagi kelompok yang memiliki kepentingan tertentu untuk mendapatkan manfaat atas pengeluaran seluruh masyarakat.

Seluruh aktivitas ini akan menimbukan dampak bagi perekonomian. Aktivitas logrolling akan menyebabkan biaya sosial marjinal menjadi semakin besar baik dalam proses pilkadal maupun pasca pilkadal karena kandidat yang dipilih tidak dapat mewakili preferensi yang paling diinginkan.

So…..
Kita sekarang mau termakan iklan siapa? Mau ikut Bajuri, atau mau ikut Doel
Tapi ati-ati jangan sampai biaya sosial kita semakin besar

Inflation targeting

The adoption of inflation target for Indonesia is a desirable option of monetary policy. This decision is induced by new system of exchange rate that is used of Indonesia since August 1997. The economics and institutional pre-condition is required for the successful adoption of inflation targeting. The paper focuses on two issues. First, how is transmission mechanism of monetary policy? Second, is the dominant channel of transmission mechanism will support the inflation targeting adoption? Are the economics and institutional conditions ready for inflation targeting adoption?
The quarterly Indonesia data for the 1981.1 – 2004.2 periods dan the Vector Autoregressions is used as data and method for transmission mechanism model. The empirical results show that real exchange rate is a dominant channel of transmission mechanism. The shocks of real exchange rate will influence output and inflation immediately. The domestic interest rate shocks will affect the output and inflation weaker and slower then real exchange rate shocks. The application of inflation targeting in Indonesia still needs institutional and public commitment to improve the structural economy condition, policy coordination and some other technical issues

tulisan ini dipresentasikan di Surabaya, 2004
benarkan Indonesia telah siap untuk penargetan inflasi? atau jangan-jangan independensi BI justru akan membuat gamang
aku ingat kata-kata Bu Ning, kita ini kemampuan desa (sori tidak mendistorsi peran desa lo), namun mengadopsi semua sistem best practices  di dunia. Yang terjadi adalah : GAGAP

DAMPAK VOLATILITAS NILAI TUKAR TERHADAP ARUS PERDAGANGAN INDONESIA (PENDEKATAN ARDL-ECM)

This paper empirically investigates the impact of exchange rate volatility on the trade flows of Indonesia to its five major trading partners for the period 1975-2005. The standard deviation of the percentage change in the real exchange rate is employed to measure the exchange rate volatility. ARDL bounds testing approach procedure and error-correction models are used to obtain the estimates of the co-integrating relations and the short-run dynamics. The results obtained in this paper, on the whole, provide evidence that the exchange rate volatility has a significant negative effect on exports (in the short run) and a significant positive effect on import (in the short and long run). In the short and long run, foreign GDP and term of trade do not have a significant effect cause of export commodities disadvantage

tulisan lengkap ini dimuat dalam Jurnal ISEI 2007 (ditulis bersama Sri Yani)
yang jelas hasil tulisan ini menunjukkan bahwa volatilitas nilai tukar merupakan hal yang tidak dapat dianggap sepele. dan yang menarik adalah perilaku eksportir dan importir yang sangat berbeda. Yang satu tidak risk averse yang satunya lagi risk lover. atau justru ini menunjukkan ketidakkompetitifan kita dan ketergantungan kita pada impor yang tingi?