Thursday, March 5, 2009

Mewaspadai Deflasi

Setelah beberapa lama seluruh dunia, dan tentu saja Jawa Tengah dilanda inflasi, akhirnya deflasi datang juga. Selasa, 6 Januari kemarin, Suara Merdeka memuat berita yang menggembirakan. Nasional dan Jawa Tengah mengalami deflasi. Deflasi nasional sebesar 0,04% dan untuk pertama kalinya selama tahun 2008 Jawa Tengah mengalami deflasi sebesar 0,40%. Di antara 4 sampel penghitungan inflasi, Purwokerto merupakan satu-satunya kota yang tidak mengalami deflasi. Deflasi disinyalir terjadi akibat turunnya harga bahan bakar yang menyebabkan penurunan harga sejumlah komoditas lain. Menurut Kepala BPS Jawa Tengah, penurunan harga ini ditunjukkan oleh kelompok bahan makanan sebesar -0,17% dan transportasi, komunikasi dan jasa keuangan sebesar -3,91%.

Bila inflasi selalu dikonotasikan sebagai sesuatu yang buruk, karena menyebabkan masyarakat semakin sengsara, maka sebaliknya deflasi merupakan fenomena yang menggembirakan dan baik. Benarkah deflasi merupakan fenomena yang menggembirakan? Atau sesungguhnya bisa juga menjadi awal dari pergerakan ekonomi yang perlu diwaspadai? Tulisan ini merupakan sudut padang yang lain dari fenomena deflasi yang ‘menggembirakan’ ini.

Deflasi, bisa baik bisa buruk

Selama ini inflasi cenderung mendapat pengamatan lebih karena menggerus nilai kekayaan, sedangkan deflasi dianggap lebih ‘tidak berbahaya’. Deflasi adalah fenomena disinflasi. Secara sederhana deflasi adalah penurunan harga barang secara umum. Bila sumber inflasi adalah sisi permintaan dan sisi penawaran, maka tentunya deflasi pun demikian juga.

Memang benar, deflasi dalam jangka pendek akan menguntungkan pembeli, namun dalam jangka panjang bisa membahayakan ekonomi. Mengapa? Ketika harga mulai turun, konsumen akan menggunakan asa nalarnya (rational expectation), dan beranggapan bahwa harga akan menjadi lebih murah beberapa bulan ke depan. Asa nalar inilah yang akan menahan keinginan untuk membeli barang pada saat ini. Bila semua orang memiliki kecenderungan yang sama, katakanlah dikalikan beberapa juta masyarakat, maka keputusan ini justru akan melemahkan perekonomian. Perusahaan akan mengalami kelebihan penawaran, sehingga cenderung mengurangi produksi. Ketika terjadi pengurangan produksi maka pengangguran akan menjadi masalah berikutnya.

Kenaikan pengangguran sebenarnya tidak saja dipicu oleh pengurangan produksi. Sticky-wage theory menyatakan bahwa sebagian besar bisnis tidak akan mudah menurunkan upah pekerja, meskipun harga telah mengalami penurunan. Truman Bewley, ekonom dari Yale pada tahun 1990 pernah mewawancarai ratusan eksekutif dan serikat buruh mengenai upah. Hasil menunjukkan bahwa pengurangan upah terhadap pekerja hampir tidak pernah terpikirkan karena akan berdampak pada sikap pekerja. Secara teoritis, kondisi ini dapat menyebabkan pengurangan pegawai untuk mempertahankan total upah yang sama. Apabila kondisi ini berlanjut maka perekonomian akan semakin turun dan hal yang terparah adalah terjadinya resesi.

Gambaran dampak deflasi di atas menunjukkan bahwa inflasi memang menyakitkan, namun deflasi juga dapat memperburuk kondisi ekonomi.

Lalu bagaimana?

Penurunan harga yang terus-menerus dapat menjadi ancaman bila terjadi deflationary spiral. Apakah Jawa Tengah akan mengalami deflationary spiral? Bila dirunut mundur, BPS mencatat bahwa selama ini tekanan harga komoditas volatile foods cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan temuan BI. Dalam KER Jawa Tengah Triwulan III (2008) terlihat bahwa sumbangan rata-rata komponen inflasi non inti (volatile dan administered price) terhadap inflasi IHK mencapai 59,90%, sedangkan inflasi inti mencapai 40,10%. Komoditas administered prices yang mendominasi antara lain adalah bensin, minyak tanah, tarif listrik, dan angkutan, sedangkan komoditas volatile foods adalah minyak goreng, mie, nasi dan gula pasir.

Fenomena ini menunjukkan bahwa sisi penawaran merupakan penyebab inflasi (sekaligus deflasi seperti saat ini) jauh lebih dominan dibanding sisi permintaan. Sehingga bila yang bergerak hanya sektor moneter dengan kebijakan suku bunga yang ditujukan untuk menekan inflasi maka kebijakan ini dapat mendorong spiral deflasi (Kebijakan suku bunga ini tidak dapat dilakukan secara regional. Meskipun Jawa Tengah telah mengalami deflasi, kebijakan suku bunga tetap harus menginduk pada BI). Ketika BI rate tetap bertengger pada angka 9,25%, maka cenderung akan melesukan sektor riil dan di lain pihak konsumen masih akan tetap menunggu dalam membelanjakan uangnya, sehingga akan menurunkan permintaan.

Menghadapi kondisi semacam ini, mau tidak mau pemerintah harus segera mengucurkan stimulus untuk mendorong perekonomian. Stimulus ini harus sinergis yaitu moneter dan fiskal. Kebijakan moneter harus berupa penurunan suku bunga yang akan menggerakkan kredit untuk bisnis sehingga mendorong penyediaan barang yang diinginkan oleh konsumen. Penurunan suku bunga juga akan meningkatkan jumlah uang beredar di masyarakat, sehingga konsumen akan memiliki lebih banyak daya beli. Bila diasumsikan semua konstan, maka meningkatnya jumlah uang beredar (secara terkendali) akan menyebabkan spiral deflasi tidak terjadi.

Paket stimulus fiskal diharapkan akan mendorong bergeraknya sektor riil. Pengeluaran pemerintah memegang peran penting untuk mengakselerasi perekonomian. Dan tentunya pengeluaran pemerintah tidak hanya sekedar untuk belanja pegawai dan keperluan-keperluan lain, namun lebih ditujukan pada pengeluaran yang memiliki trickle down effect.

Penutup

Deflasi dalam jangka pendek adalah baik, karena dengan penurunan harga maka secara relatif daya beli meningkat. Yang perlu diwaspadai adalah deflasi yang berkepanjangan, karena bisa merupakan gejala menuju ke resesi. Apabila penyebab deflasi semata-mata adalah penurunan harga, maka kondisi ini relatif aman. Namun bila penyebab dominannya adalah penurunan permintaan maka kondisi inilah yang harus diwaspadai. Maka tugas pemerintah adalah memberikan stimulus yang tepat, sehingga daya beli tetap dapat meningkat, terjadi pergerakan sektor riil, pengurangan pengangguran serta akhirnya pertumbuhan ekonomi.

KERUGIAN EKONOMI AKIBAT CUKAI ILEGAL HASIL TEMBAKAU - continued

Peran Cukai terhadap Penerimaan Negara

Cukai tembakau salah satu sumber penerimaan dalam negeri diluar etil alkohol dan minuman mengandung alkohol. Pengaturan cukai HT didasarkan pada Permenkeu No 203/PMK.011/2008, Peraturan Menteri Keuangan tertanggal 9 Desember 2008 dan diberlakukan per 1 Februari 2009. Peraturan ini merupakan pengganti dari Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04 tahun 2007 yang menjadi awal pemberlakuan cukai spesifik yang hampir seragam untuk seluruh produk tembakau. Hal ini merupakan perubahan yang cukup besar dari sistem cukai sebelumnya. Kebijakan tarif spesifik ini untuk memperbaiki struktur harga rokok di pasar, juga demi mengurangi distorsi dan kelangsungan industri hasil tembakau, serta memberi arah secara gradual bagi kebijakan cukai ke arah pola spesifik (TCS).

Cukai berasal dari tembakau sekitar 95% dari total penerimaan cukai, dan sekitar 8-9% dari total penerimaan negara. Enam perusahaan rokok menyumbang 88 persen penerimaan negara dari cukai tembakau (71% dikuasai oleh 3 perusahaan besar). Kontribusi industri rokok terhadap penerimaan negara pada 2006 sebesar Rp 38,4 triliun, tahun 2007 sebesar Rp 43,8 triliun (lebih tinggi dari target Rp 42,3 triliun). Dalam APBN 2009, penerimaan cukai ditargetkan sebesar Rp 49 triliun.

Dengan struktur permintaan yang inelastik maka kenaikan cukai memberikan dampak yang relatif kecil terhadap penurunan permintaan. Kenaikan cukai tersebut akan memberikan kontribusi terhadap tambahan penerimaan negara sebesar Rp 23,8 triliun sampai Rp. 75,8 triliun (US$ 2,6 sampai US$ 8,3 milyar).

Bagaimana cukai HT tersebut sampai ke daerah? Dana alokasi cukai HT ini akan dialokasikan seseuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60/PMK.07/2008 tentang Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2008, dan akan masuk dalam item pendapatan lain-lain yang sah. Seperti diketahui struktur APBD dari sisi penerimaan dapat dirinci sebagai berikut

1. Pendapatan asli daerah

2. Dana perimbangan

3. Lain-lain pendapatan yang sah

Dana alokasi cukai hasil tembakau 2008 merupakan bagian dari transfer ke daerah dalam bentuk dana penyesuaian 2008 dan digunakan untuk melaksanakan penugasan dari pemerintah sekurang-kurangnya untuk mengurangi cukai palsu, sosialisasi peraturan di bidang cukai, dan pemetaan industri rokok. Dana alokasi cukai hasil tembakau tahun anggaran 2008 yang dialokasikan kepada daerah penghasil cukai hasil tembakau ditetapkan sebesar Rp 200 miliar provinsi/kabupaten/kota. Untuk provinsi Jawa Tengah mendapatkan sebesar Rp 52.195.765.000. Dari dana tersebut, maka Pemprov Jawa Tengah akan memperoleh Rp15,65 miliar. Sedangkan sisanya untuk kabupaten/kota. Atau dari total dana yang diterima, Pemprov Jateng memperoleh 30%, kabupaten/kota potensi penghasil 40%, dan untuk pemerataan kabupaten/kota 30%.

Rokok Ilegal Tidak Hanya Merugikan Penerimaan Negara

Kenaikan pita cukai sebesar 7% menuai protes dan mendorong munculnya produsen rokok illegal. Protes para pengusaha rokok disebabkan pemerintah dinilai tidak konsisten dengan ‘road map’ hasil tembakau hingga tahun 2020 yang pada jangka pendek (2007-2010) seharusnya lebih diprioritaskan untuk pengembangan kesempatan kerja. Kenaikan pita cukai ini juga mendorong pertumbuhan produsen rokok ilegal pada tahun 2005 sampai tahun 2007 hingga mencapai 23 persen atau mencapai sekitar Rp 3 triliun hingga Rp 6 triliun per tahun. Rokok ilegal adalah rokok yang beredar di wilayah Indonesia baik berasal dari impor maupun produksi dalam negeri yang diidentifikasi tidak mematuhi aturan yang berlaku seperti tanpa pita cukai (rokok polos), menggunakan pita cukai palsu dan memakai pita cukai bekas. Selain itu, produksi rokok dinilai ilegal jika pita cukai tidak sesuai jenis dan golongannya, pita cukai bukan haknya serta rokok palsu dengan pita cukai palsu Dirjen Bea Cukai. Diperkirakan kerugian negara akibat pita cukai rokok ilegal mencapai Rp 5,2 triliun per tahunnya. Data pajak dari cukai yang seharusnya dibayar pabrik rokok berskala kecil dan menengah mencapai Rp 6,07 triliun per tahun. Namun pajak dari cukai yang masuk ke kas negara hanya Rp 816,25 juta.

Tapi benarkah bahwa cukai illegal hanya merugikan penerimaan negara, yang nantinya akan berdampak pada menurunnya dana alokasi cukai ke provinsi Jawa Tengah, dan pada akhirnya akan mengurangi penerimaan APDB, dan belanja pemerintah provinsi? Tampaknya tidak sesederhana itu. Beberapa hal di bawah ini merupakan hal yang perlu dihitung sebagai kerugian akibat rokok ilegal.

1. Tindakan ilegal adalah tetap tindakan yang melanggar, dan perlu diberi sanksi. Apabila produksi rokok ilegal tidak ditertibkan, maka berarti akan muncul rokok-rokok baru, dengan kualitas yang semakin tidak terkontrol, dan tentu saja akan memiliki mutu yang lebih rendah. Rokok sendiri merupakan barang yang merusak kesehatan masyarakat, apalagi rokok dengan kualitas rendah. Apabila melihat struktur konsumsi, maka yang akan mengkonsumsi rokok berkualitas rendah ini adalah masyarakat desa. Keterbatasan pendapatan masyarakat desa menyebabkan akses terhadap kesehatan pun buruk, dampak buruk kesehatan akibat rokok akan menjadi beban yang lebih besar lagi.

2. Rokok illegal yang dibiarkan semakin memberi persepsi kepada masyarakat internasional bahwa fenomena pollution havens terjadi di Indonesia. Standar polusi yang rendah, yang tercermin dari standar cukai rokok yang rendah (standar global cukai rokok adalah 70% dari harga jual). Data juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat kelima rata-rata tarif cukai rokok di ASEAN 2008 dengan tarif cukai rokok sebesar 37 persen. Sedangkan Thailand mencapai 63 persen, Malaysia 49-57 persen, Philippines 46-49 persen, Vietnam 45 persen. Kondisi ini akan membawa kerugian pada kualitas lingkungan dan kesehatan.

3. Kerugian atas kesejahteraan masyarakat. Ketika rokok ilegal tidak mendapat tindakan tegas, maka berarti membiarkan masyarakat tetap bekerja pada sektor yang sudah semakin disingkirkan dari dunia internasional. Hal ini tentunya tidak memberikan edukasi bagi masyarakat. Berdasarkan data, sebenarnya yang lebih banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor tembakau dan bukan industri rokok. Demikian juga dengan linkages yang diciptakan. Maka klaim dari perusahaan rokok ilegal sebenarnya lebih didasarkan pada kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan yang lebih luas.

Penutup: Kebijakan cukai perlu disertai dengan catatan

Berdasarkan paparan di atas, maka kebijakan cukai HT ini perlu disertai dengan beberapa catatan, agar tidak menimbulkan produksi rokok ilegal yang merugikan perekonomian.

kebijakan cukai yang diikuti oleh tindakan terhadap produsen rokok illegal, serta mengurangi dampak negatif dari perubahan cukai pada industri hulunya yaitu usahatani cengkih dan usahatani tembakau (non distortion effect).

Dana alokasi cukai rokok yang selama ini hanya ditujukan untuk mengurangi cukai palsu, sosialisasi peraturan di bidang cukai, dan pemetaan industri rokok seharusnya perlu ditambah dengan alokasi untuk penyiapan petani tembakau agar mulai beralih ke pertanian yang lebih sehat.

Dilakukannya edukasi, karena sebenarnya hasil simulai dampak kenaikan cukai tembakau sebanyak dua kali lipat akan menaikkan tenaga kerja sebanyak 0,3% (LDUI), bila pengeluaran rumah tangga dialihkan ke hal yang lebih produktif akan mendorong pertumbuhan ekonomi, dan pencegahan kematian perokok akan memberikan tambahan penerimaan negara sebesar Rp 29,1 triliun sampai Rp 59,3 triliun

KERUGIAN EKONOMI AKIBAT CUKAI ILEGAL HASIL TEMBAKAU 1

(catatan: ini adalah materi talkshow ku di TV Cakra Semarang)

Penerapan peraturan cukai hasil tembakau (HT) selalu menimbulkan kontroversi. Di satu sisi pemerintah ingin meningkatkan penerimaan negara, di sisi lain banyak pengusaha rokok yang menjerit karena merasa dirugikan. Polemik ini akan mereda jika penerapan aturan baru cukai rokok tidak semata-mata dipandang untuk meningkatkan penerimaan negara, namun sebagai political will pemerintah terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Peran Sektor Hasil Tembakau terhadap Perekonomian

Perkebunan tembakau di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat. Daerah produksi utama adalah Jawa Timur, NTB dan Jawa Tengah. Jawa Tengah memiliki sekitar 12,61% dari total perkebunan tembakau di Indonesia. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pertanian tembakau mencapai masing-masing 1,8 % dan 0,5 % dari total tanah pertanian yang digarap.

Pengolahan hasil tembakau sendiri dibagi menjadi:

  1. Industri pengeringan dan pengolah tembakau dan bumbu rokok
  2. Industri rokok kretek
  3. Industri rokok putih
  4. Industri rokok lainnya (cerutu, kelembak/menyan)
  5. Industri hasil lain

Indonesia adalah negara penghasil kretek terbesar dengan produksi mencapai 80% dari total rokok yang ada. Pulau jawa adalah pasar terbesar produsen rokok, dimana sekitar 69,2% produksi rokok nasional diserap oleh konsumen di Jawa.

Peran tembakau dan hasil tembakau dapat dilihat dari beberapa sisi

1. Penerimaan negara (cukai)

2. Penciptaan devisa negara

3. Penciptaan output, nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja

4. Multiplier efek bagi sektir ekonomi lain

5. Backward dan forward linkages

Berdasarkan data dalam tabel Input Output diperoleh fakta bahwa penaranan sektor tembakau dan sektor industri rokok sedikit berbeda.

1. Sektor tembakau memiliki peran yang lebih besar dalam penyerapan tenaga kerja, dan mendorong pertumbuhan sektor ekonomi lain karena sketor tembakau mempunyai kegiatan dengan cakupan areal yang luas. Sektor industri rokok cenderung memiliki dampak terhadap penciptaan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan dengan sektor tembakau.

2. Pangsa sektor tembakau terhadap penciptaan nilai output adalah sebesar 0,04%, sedangkan pangsa industri rokok terhadap penciptaan nilai output adalah sebesar 1,33 %. Artinya kontribusi industri rokok jauh lebih besar dibandingkan dengan industri tembakau. Implikasinya adalah jika konsumsi HT menurun, maka perlu ada alternative sumber pendapatan lain bagi masyarakat yang hidup di kedua sektor tersebut.

3. Peranan sektor tembakau pada penyerapan tenaga kerja sebesar 0,66%, sedangkan industri rokok sebesar 0,42%. Kondisi ini berlawanan dengan persepsi umum. Selama ini masyarakat cenderung melihat bahwa industri tembakau dan HT merupakan penyerap tenaga kerja terbesar. Kenyataannya tidak seperti itu. Menurut BPS, industri ini hanya berada pada peringkat ke -48 dari 66 sektor yang berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja.

4. Angka pengganda output sektor tembakau adalah 2,3371. artinya setiap peningkatan permintaan akhir tembakau sebesar Rp 1, maka sektor ini akan mampu menciptakan nilai tambah Rp 1,3371 atau sekitar 34% dari investasi awal. Sedangkan Industri rokok angka penggandanya hanya 1,7175 artinya peningkatan permintaan akhir terhadap industri rokok sebesar Rp 1, hanya akan menciptakan nilai tambah sebesar Rp 0,7175, lebih kecil dari tembakau

5. Backward linkages tembakau adalah 1,1374 (urutan ke 15), sedangkan rokok adalah 0,8358 (urutan ke 51). Karena nilainya lebih kecil dari 1 maka berarti industri rokok tidak mampu menarik sektor hulunya. Forward linkages untuk sektor tembakau adalah 1,3951 (urutan ke 7) dan rokok adalah 1,1391 (urutan ke 29)

Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa permintaan HT bersifat inelastik, sehingga kenaikan cukai rokok tidak akan secara signifikan menurunkan jumlah permintaan rokok di Indonesia. Berdasarkan data Susenas, rata-rata konsumsi rokok kretek filter per minggu per kapita adalah 5,855 batang, rokok kretek tanpa filter sebesar 3,266 batang, dan rokok putih 0,663 batang. Dari konsumsi ini, rokok lebih banyak dikonsumsi di kota, dengan besaran konsumsi rokok per minggu per kapita sebesar 10,413 batang, sedangkan di desa sebesar 9,215 batang. Sedangkan nilai pengeluaran HT perkapita per bulan adalah sebesar Rp 17.508 (kota : Rp 20.335, dan desa Rp 15.281. Pangsa pengeluaran di desa jauh lebih tinggi yaitu 7,13% dari total pengeluaran per bulan, sedangkan di kota mencapai 5,17%.