Wednesday, November 12, 2008

Pembelajaran dari Krisis Finansial: Sudut Pandang Teori dan Kebijakan

PPT ini aku sampaikan dalam

Diskusi Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Jawa Tengah

12 November 2008


Subprime Mortgage Crisis

Tumbuh pesat pada akhir 2006

Hanya 9% pada 1996, 13% pada 1999, 20% pada 2006

$1.3 Trillion subprime mortgage pada Maret 2007

The delinquency rate meningkat menjadi 21% pada 2008


Subprime Crisis

Disarikan dari Wikipedia


Mengapa Sektor Keuangan?

Keuangan adalah aktivitas paling membahayakan dari semua aktivitas ekonomi resmi

Keuangan dapat bergerak dengan sangat cepat

Keuangan dapat menggunakan leverage

Hutang atau kredit dimungkinkan

Penjaminan bekerja jika ada kepercayaan

Kepercayaan berkaitan dengan informasi dan transparansi

Teori

Krisis memvalidasi beberapa teori berikut

Moral Hazard

Adverse Selection

The “Herd Mentality” dari Herbert Simon’s theory of Bounded Rationality.

Pasar tidak secara spontan bersifat informasi-efisien (Stiglitz).

Ketidakpastian dan kejutan membentuk preferensi pengambil keputusan

Rasionalitas bersifat bergantung

Pentingnya faktor institusi

Mungkinkah Keynes is back…. ????

Ketika ketidakpastian mendorong terjadinya credit crunch: ini adalah preferensi likuiditas

Agen bereaksi tidak berdasarkan apa yang terjadi tapi bagaimana mereka memahami reaksi agen lain pada situasi yang baru

Ketika kejutan datang dari sesuatu yang bersifat “Unexpected” maka dapat membawa konsekuensi yang rumit

Manajer keuangan dapat membuat ekonomi menjadi tidak stabil

Pasar tidak menghasilkan institusi yang dibutuhkan


Bagaimana dengan Indonesia?

Kebijakan di pasar keuangan

menaikkan suku bunga (untuk menekan inflasi),

peraturan baru yang ditujukan untuk perbankan.

kenaikan jaminan simpanan masyarakat: cegah rush dan bank run

perluasan jenis aset yang dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dari Bank Indonesia: memompa likuiditas perbankan

Buy back

Side Effect Kebijakan pasar keuangan

Moral Hazard karena perlindungan deposan terhadap kerugian akan mengurangi insentif deposan tersebut untuk memonitor bank secara ketat.

Moral hazard juga dapat menyerang (manajer) bank

Butuh kontrol intern yang kuat: Bank prudential

Adverse selection: yang berisiko yang tinggal dalam sistem

Agency Problem: agen memenuhi keinginan pribadi dibandingkan tujuan “principalintervensi politik

Buy back : menularkan penyakit krisis Amerika Serikat ke APBN melalui BUMN.

Kebijakan non pasar keuangan

Tidak cukup pasar keuangan saja!!!

Kesinambungan neraca pembayaran/devisa : BUMN, bilateral Swaps

keberlangsungan ekspor, kurangi pungutan ekspor Crude Palm Oil, cegah import ilegal

mempercepat pembangunan infrastruktur

menjaga stabilitas likuiditas

stabilitasi pasar SUN

Kesinambungan fiskal 2009

pengawasan barang beredar

Implikasi Kebijakan

Perubahan suku bunga dalam pasar keuangan yang liberal penuh tidak merefleksikan kinerja ekonomi aktual. Bank sentral perlu reaktif dan tidak membatasi diri dengan target tunggal.

Tidak akan terdapat keuangan yang bagus ketika sektor riil tidak bekerja dengan bagus BS harus berinteraksi dengan pemerintah. Independensi penuh tidak akan bekerja

Pasar modal membutuhkan regulasi dan supervisi. Regulasi tidak dapat sepenuhnya berdasarkan pasar

sebagian pasar, sebagian lagi pemerintah

Wednesday, October 22, 2008

KEBIJAKAN KRISIS KEUANGAN: PERLU KEHATI-HATIAN AGAR TIDAK MENJADI BUAH SIMALAKAMA

Saat ini hampir semua negara mengalami kemerosotan perekonomian. Pemburukan ekonomi ini awalnya dipicu oleh kasus Subprime Mortgage di Amerika Serikat. Permasalahan menjadi rumit karena pemilik surat utang Subprime Mortgage juga terdapat di perbankan Australia, Cina, Taiwan dan India. Kondisi inilah yang kemudian merambat ke harga saham perbankan di seluruh dunia dan akan mendorong melemahnya kegiatan perekonomian.

Sebenarnya Indonesia masih diuntungkan karena Peraturan Bank Indonesia tidak memungkinkan perbankan kita membeli surat utang berperingkat rendah. Permasalahannya adalah komposisi investor di Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak saja investor domestik namun juga asing. Aksi jual tidak hanya dilakukan oleh investor asing, namun juga merambat ke investor domestik. Kondisi ini menyebabkan harga saham turun, imbal hasil obligasi naik dan akhirnya kurs rupiah melemah.


Kebijakan Pemerintah

Kepanikan di pasar modal akan dengan cepat merembet ke perbankan atau pasar keuangan lain. Karakteristik pasar keuangan yang rentan, mudah terkena isu, dan cenderung menggunakan ekspektasi (baik yang rasional maupun tidak rasional) dalam menentukan keputusan, membuat pasar keuangan mudah sekali goncang. Melihat kepanikan yang sempat terjadi di BEI, pemerintah segera mengambil langkah, baik dengan menaikkan suku bunga (untuk menekan inflasi), maupun mengeluarkan peraturan baru yang ditujukan untuk perbankan.

Dua kebijakan terkini yang terkait dengan perbankan adalah (i) kenaikan jaminan simpanan masyarakat, dan (ii) perluasan jenis aset yang dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dari Bank Indonesia. Melalui Perppu atas UU No 25/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, pemerintah menaikan jaminan simpanan dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 Milyar. Kenaikan jaminan ini dimaksudkan agar masyarakat merasa tenang dan tidak melakukan rush atas simpanan di bank, sehingga diharapkan mampu meniadakan adanya bank run.

Kebijakan kedua yang dilakukan oleh pemerintah termuat dalam Perppu atas UU No 3/2004 tentang Bank Indonesia. Perppu ini memungkinkan bank memperoleh fasilitas pendanaan jangka pendek dari Bank Indonesia dengan menggunakan aset kredit sebagai agunan. Perppu ini diharapkan akan mampu memompa likuiditas perbankan yang mengalami penurunan akibat adanya pelemahan perekonomian dunia.


Butuh Kehati-hatian

Bila diamati, kedua Perppu ini, memiliki semangat untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, memberikan perlindungan yang lebih besar bagi nasabah, serta untuk mencegah agar tidak terjadi krisis di sektor perbankan. Namun, Perppu ini apabila tidak diikuti dengan pengawasan yang baik, maka akan justru akan mempercepat pemburukan ekonomi Indonesia.

Mengapa bisa demikian? Salah satu tujuan penjaminan adalah mencegah terjadinya kepanikan perbankan sehingga akan mampu mengurangi risiko sistemik perbankan. Kalau penjaminan ini dapat berjalan dengan baik, maka masyarakat tidak akan ragu-ragu untuk menabung sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Penjaminan sebesar Rp 2 milyar, merupakan nilai yang besar, yang bila tidak berhati-hati dalam manajemen risiko dapat menimbulkan Moral Hazard. Moral hazard muncul karena perlindungan deposan terhadap kerugian akan mengurangi insentif deposan tersebut untuk memonitor bank secara ketat. Mudah dipahami, karena semakin merasa aman seseorang, maka biasanya mereka justru akan mengendorkan tingkat kewaspadaannya. Demikian pula dengan kasus ini, adanya penjaminan menyebabkan deposan tidak lagi was-was akan mengalami kerugian, sehingga kenapa harus repot-repot mengawasi kondisi bank?. Moral hazard juga dapat menyerang (manajer) bank bila mereka mengambil aset yang lebih berisiko. (Manajer) bank melakukan hal ini tanpa harus membayar lebih untuk deposit, karena adanya jaring pengaman yang dibiayai negara apabila mereka mengalami kebangkrutan. Dari sisi Perppu perluasan aset penjaminan, masuknya aset kredit sebagai jaminan dapat pula menimbulakn bahaya yang cekup besar. Kontrol intern bank diperlukan agar tidak terjadi penyalahgunaan.

Dengan demikian, program-program yang berkaitan dengan perlindungan nasabah dan perluasan aset penjamian tetap harus bersifat jangka pendek dan diikuti dengan manajemen risiko yang baik. Karena bila hal ini tidak dilakukan dengan serius, maka justru akan menyebabkan munculnya bubble baru di industri perbankan Indonesia, dan itu berbahaya!!!

Monday, October 6, 2008

macromod - pembentukan asa nalar

ini adalah materi terakhir kuliah makro modelling sebelum mid. Mekanisme transmisi menjadi penting, karena dari bagan inilah kita akan dapat menentukan arah "lari" variabel-variabel kita.
sebagian besar materi dan gambar dalam ppt mekanisme transmisi ini diambil dari paper2 yang diterbitkan oleh BI.

ini ppt mekanisme transmisi selengkapnya http://rapidshare.com/files/151352072/ikarahutami_7mekanisme_transmisi.ppt. semoga bermanfaat

macromod- Pembentukan asa nalar

Asa nalar atau rational expectation, merupakan perkembangan dari adaptive expectation.
materi kuliah ini saya sampaikan, mengingat perkembangan pemodelan baik yang digunakan oleh New Classical maupun new Keynesian menggunakan ratex sebagai salah satu landasan (tentu saja dengan cara yang berbeda).

Ringkasan yang termuat dalam power point ini, sebetulnya merupakan penelusuran yang saya lakukan ketika membuat disertasi. semoga berguna.

macromod- Microfoundation for Macroeconomics modelling

selain masalah teori makro, microfoundation juga menjadi hal yang sangat penting. microfoundation berguna terutama untuk menderivasi model.

powerpoint berikut ini adalah beberapa materi dari microfoundation. semoga berguna

macromod- teori makro utama

Menurut saya, salah satu hal yang harus dipahami betul dalam pembentukan model makro adalah mainstream apa yang akan digunakan.
teori Keynes dan perkembangannya, teori klasik dan perkembangannya, masing-masing memiliki karakter, restriksi, dan asumsi yang tidak dapat dicampuradukkan satu dengan yang lain.

apabila penelitian ini melakukan konfirmasi teori, maka dasar teori harus muncul secara nyata.
dan dasar teori inilah yang akan memunculkan restriksi dan asumsi di dalam pemodelan.

kajian terhadap perdebatan penelitian sebelumnya juga akan sangat memperkaya pemodelan. sehingga ketika membuat model, peneliti telah tahu arah yang akan ditempuh, dan tidak menyalahkan kondisi Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, sehingga banyak anomali, bila estimasi hasil tidak menunjukkan arah yang sesuai dengan teori (seperti yang banyak dilakukan mahasiswa S1 kita).

powerpoint mengenai teori makro utama ini sebetulnya merupakan ringkasan dari tugas makro saya waktu s3 selama 1 semester. jadi detailnya ada di tumpukan paper saya. hehe. sekarang yang saya sampaikan hanya ppt saja ya... dapat dilihat di http://rapidshare.com/files/151350967/ikarahutami_4teori_makro_utama.ppt

macromod- model dinamik

pada dasarnya makro modelling yang diberikan di S2 UGM, lebih menitikberatkan pada alat ekonometris.
konsekuensinya, pengetahuan tentang time series model harus menjadi sangat kuat. Mahasiswa tidak cukup dibekali dengan regresi OLS karena bagi sebagian peneliti OLS telah masuk kategori jurrasic regression. hehehe

Materi model dinamik, sebagian saya ambil dari Model Ekonometri karangan Pak Insukindro dkk (unpublished)..

Model dinamik secara lengkap dapat dilihat di sini.

macromod- Prinsip Konstruksi Model, Hubungan Variabel, dan Dimensi Analisis

dalam bagian ini, kuliah minggu ke-2 isinya lebih ke prinsip dasar melakukan pemodelan. dalam bagian ini saya lebih menitikberatkan pengetahuan akan data
karena biasanya data dengan berbagai macam pengukuran akan membingungkan mahasiswa.

ppt lengkap ada di http://rapidshare.com/files/151350525/ikarahutami_2Hubungan_variabel__dimensi_analisis__dan_prinsip.ppt

silabi makro modelling dan dasar-dasar

power point berikut ini berisikan silabi makromodelling yang saya gunakan
sebelum mid, biasanya diisi dengan classical lecture, sedangkan setelah mid berisi presentasi mahasiswa.
perkembangan pemodelan biasanya tertangkap secara utuh ketika dilakukan diskusi setelah mid semester..
karena mereka harus mencari state of the art dari model yang digunakan

ini silabi yang saya gunakna dalam bentuk ppt

Macro modelling

Mata Kuliah Makro Modelling adalah satu mata kuliah yang ditawarkan di S2 dan S3 UGM.
Kebetulan saya boleh mengajar pada level S2 untuk 3 semester ini. Tidak terdapat buku baku untuk makromodelling sebenarnya. Sehingga dengan mencoba banyak membaca, banyak melihat SAP sebelumnya saya mencoba mengajar Makromodelling dengan style saya.

Atas permintaan Mas Harto dari UNJ, maka "terpaksa" saya keluarkan oret-oretan saya nih. sebenarnya saya nggak pede. habis.. ini masih sederhana sekali.
tapi dengan niat berbagi ilmu.. maka seluruh tulisan ini terbuka untuk diskusi dan koreksi

bahkan saya akan sangat senang bila ada kritik, atau ada materi baru yang bisa saya update untuk pengembangannya.

so... dont hesitate to make a great and smart discussion...
oya bila ingin menggunakan ppt ini sebagai bahan kuliah, silakan, asal ya seperti biasa, sesama akademisi tidak boleh saling mendahului... hehehe... maksudku... pls cantumkan sumbernya.... (meski belum ada copyrightnya)..


regards
ika

Pemampuan Knowledge Management dalam Meningkatkan Kinerja Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

tulisan ini mencoba melihat kondis UMKM di Jogja. Makalah ini ditulis dengan Kuntari, teman saya di S3 UGM, dan menjadi finalis lomba karya tulis Immovation Bank Indonesia

ini bagian penutupnya....

Kegagalan institusional, kegagalan pasar dan keterbatasan kemampuan UMKM dalam bentuk keterbatasan kapabilitas manajemen, keterbatasan terhadap akses layanan bisnis, dan kemampuan mengakses dan menganalisis informasi mengakibatkan perkembangan UMKM menjadi penuh tantangan. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam UMKM dan mengembangkan UMKM lebih jauh adalah penggunaan knowledge management. Knowledge Management (KM) dipandang sebagai proses untuk meningkatkan kapasitas dan nilai perusahaan berdasar aset intelektual atau pengetahuan. Pengetahuan ini terikat dan mengalir melalui berbagai entitas (multiple entities) didalam sebuah perusahaan. Penggunaan pengetahuan (knowledge use) ini menjadi sangat penting karena KM sangat bermanfaat bagi seluruh entitas perusahaan, dari level pimpinan sampai ke level karyawan untuk melakukan pengambilan keputusan yang akurat. Yang harus disadari adalah model KM berawal dari model Information System, sehingga pengembangan teknologi informasi menjadi satu hal yang patut diupayakan.

Pengembangan UKM dengan menggunakan pengetahuan harus disesuaikan karena penerapan yang terlalu cepat atau terlalu lambat justru akan menimbulkan permasalahan bagi UMKM. Bila tahapan UMKM dibagi menjadi tahap awal, pertumbuhan, ekspansi dan matang, maka pada tahap awal dibutuhkan (i) inkubator riset dan pengembangan, (ii) kecukupan tenaga kerja, infrastruktur dan pasokan material, serta (iii) pengetahuan pasar. Pada tahap pertumbuhan perlu diperhatikan hal-hal berupa (i) sertifikasi dan standarisasi, (ii) bantuan teknis, dan (iii) pengembangan pasar. Pada tahap ekspansi maka perlu memasukkan unsur ICT dan outsourcing, sedangkan pada tahap UMKM telah matang maka promosi merek dan internasionalisasi menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda.

Strategi yang perlu ditempuh dari sisi produk adalah perbaikan kualitas produk. Karena produk yang lebih baik akan lebih laku dijual, meningkatkan market share, memperoleh distribusi yang lebih luas, meningkatkan laba, menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya. Untuk itu kegiatan desain, terutama difokuskan pada perilaku manusia dan mutu kehidupan seluruh entitas menjadi penting dalam pengembangan produk. Perusahaan disarankan memiliki kreativitas di dalam setiap pemikiran dan tindakannya, karena berkompetisi hanya pada harga, bukan merupakan strategi yang berhasil, dibandingkan dengan berkompetisi dengan menciptakan produk yang orijinal dan inventif. Penggunaan pengetahuan dipandang juga dapat mengatasi masalah utama keuangan di UMKM yaitu ketiadaan titik temu (mismatch) antara kreditur dan debitur. Adanya kesenjangan antara kreditur dan debitur membutuhkan adanya informasi yang luas dan perbaikan-perbaikan sistem keuangan yang mampu melayani UMKM dengan lebih baik.

Implementasi strategi secara umum, strategi yang fokus ke produk dan keuangan secara tepat diharapkan akan mampu memberikan pengaruh yang signifikan, dan mempercepat pengembangan UMKM.


bila penasaran bagian depannya, silakan lihat di link ini

Menjaga Volatilitas Nilai Tukar: Faktor Pendukung Pengembangan Bisnis di ASEAN

Globalisasi ekonomi menyebabkan aliran barang, jasa dan modal di dunia dapat bergerak dengan bebas. Perdagangan bebas memberikan setidaknya tiga manfaat bagi masyarakat. Pertama, sistem perdagangan bebas yang diiringi dengan persaingan bebas akan menghindarkan berkembangnya kondisi X-inefficiency. Kompetisi akan mendorong produsen untuk melaksanakan proses produksi yang efisien sehingga harga yang dibebankan kepada konsumen menjadi relatif murah. Kedua, sistem perdagangan internasional yang bebas akan meminimumkan ketidakstabilan ekonomi makro yang menjurus pada "stop-go macroeconomics cycles", sedangkan kebijakan proteksi yang disertai dengan adanya kurs mata uang yang tidak realistis cenderung mengakibatkan terjadinya "foreign exchange bottleknecks." Ketiga, liberalisasi perdagangan internasional akan mendorong berlangsungnya proses produksi dalam skala penuh dengan memperluas produksi untuk ekspor dan menimbulkan situasi produksi yang "increasing return to scale," sehingga dapat berkompetisi di pasar internasional.

Liberalisasi perdagangan memicu terjadinya kerjasama ekonomi antar negara, baik itu bersifat regional, bilateral maupun multilateral. Regionalisme maupun penciptaan integrasi ekonomi lainnya semakin hari semakin menarik karena dipandang akan memberikan lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan biaya yang ditimbulkan. Dalam pemahaman populer, regionalisme ekonomi merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh sekelompok perekonomian yang berdekatan secara geografis untuk mencapai integrasi ekonomi kawasan. Integrasi ekonomi secara regional menjadi tidak hanya bermanfaat bagi suatu negara namun juga bagi dunia bisnis. Hal ini disebabkan karena dunia bisnis sedang menghadapi lingkungan persaingan yang cenderung makin turbulen, yang dapat menyebabkan entitas bisnis tidak lagi berkelanjutan. Dalam kondisi yang semakin turbulen, dunia bisnis memerlukan kredibilitas dan integritas yang semakin tinggi, yang tidak hanya dapat diperoleh dari sisi internal bisnis, namun juga memerlukan faktor fundamental ekonomi makro yang kuat.

Dalam dunia bisnis setidaknya ada 4 faktor yang akan mempengaruhi strategi bisnis global (www.bized.co.uk) yaitu (i) politik, (ii) ekonomi, yang terdiri dari sistem pajak, iklim investasi, pasar keuangan yang canggih yang memudahkan kapital untuk bergerak, harga komoditas, kebijakan fiskal dan moneter yang diambil oleh pemerintah, regulasi dan birokrasi internal, serta nilai tukar, (ii) teknologi, dan (iv) faktor sosial. Internasionalisasi bisnis sendiri pada dasarnya dapat memanfaatkan skema blok perdagangan untuk mengakselerasi bisnis. Blok perdagangan akan mempengaruhi akses ke pasar yang baru dan mempengaruhi biaya perdagangan relatif dalam wilayah yang berbeda di dunia.

Ketika pasar yang lebih luas menjadi tujuan bisnis, maka stabilitas nilai tukar menjadi faktor pendukung yang penting untuk diperhatikan. Salah satu ukuran dari risiko nilai tukar adalah volatilitas nilai tukar. Semakin besar volatilitas nilai tukar, berarti semakin tidak stabil dan berisiko, sehingga akan menghambat intervensi ke pasar luar negeri. Ketidakstabilan nilai tukar menjadi banyak diperhatikan terutama dalam integrasi ekonomi, karena integrasi perdagangan dipandang tidak lagi memadai untuk membendung arus globalisasi ekonomi yang terjadi. Tulisan ini, dengan mengolah data dari IFS dan ASEAN Secretariat, akan mengamati daya dukung ekonomi makro, terutama berkaitan dengan kondisi volatilitas nilai tukar di ASEAN, dan juga melihat apakah ASEAN telah siap melakukan integrasi keuangan untuk mengurangi volatilitas nilai tukar.

Makalah ini Telah dipresentasikan dalam The 1st National Conference – Faculty of Economics Widya Mandala Catholic University Surabaya, 4 September 2007 dan dimuat di Jurnal Kinerja, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2008. Bila ingin mengetahui lebih lanjut silakan klik di sini.

Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia dan Penerapan Inflation Targeting

Makalah telah dipresentasikan dalam Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, UI-ISEI, di Jakarta, 8-9 Desember 2004

Abstract

The adoption of inflation target for Indonesia is a desirable option of monetary policy. This decision is induced by new system of exchange rate that is used of Indonesia since August 1997. The economics and institutional pre-condition is required for the successful adoption of inflation targeting. The paper focuses on two issues. First, how is transmission mechanism of monetary policy? Second, is the dominant channel of transmission mechanism will support the inflation targeting adoption? Are the economics and institutional conditions ready for inflation targeting adoption?
The quarterly Indonesia data for the 1981.1 – 2004.2 periods dan the Vector Autoregressions is used as data and method for transmission mechanism model. The empirical results show that real exchange rate is a dominant channel of transmission mechanism. The shocks of real exchange rate will influence output and inflation immediately. The domestic interest rate shocks will affect the output and inflation weaker and slower then real exchange rate shocks. The application of inflation targeting in Indonesia still needs institutional and public commitment to improve the structural economy condition, policy coordination and some other technical issues.

Key words: inflation targeting, transmission mechanism, monetary policy, Vector Autoregression, Indonesia

read more - http://rapidshare.com/files/151336659/ikarahutami_Mekanisme_Transmisi_Kebijakan_Moneter_.doc

Jeda Struktural dalam Suku Bunga Dan Kurs : Pengaruhnya Terhadap New Keynesian Phillips Curve Di Indonesia

The exchange rate system changed in August 1997 had many costs for Indonesian’s economy. Since August 1997, Bank Indonesia changed their nominal anchor and monetary target from monetary aggregate to interest rate and choose the inflation targeting as its monetary target. The monetary phenomenon changes and the fluctuation of monetary variables could be seen as the shocks in economy. This paper employs quarterly time series data from 1983.1 to 2005.4 to endogenously determine the timing of structural break for interest rate, exchange rate, inflation and output gap data in Indonesia. The Innovational Outlier model (IO) and the Additive Outlier model (AO) are then use to test for nonstationarity. Moreover the coefficient for all dummy variables such as intercept, slope and time of the break are found to be significant except output gap data. The next analysis is concern for the impact of monetary shock or monetary structural break to New Keynesian Phillips Curve (NKPC). This paper adopts and modifies the Batini-Haldane (1999) and Tanuwijaya-Meng (2005) NKPC model to analyze impact of exchange rate and interest rate impact to inflation. This model use backward and forward looking information, output gap, output expectation, depreciation/appreciation, monetary aggregate growth as variables that influence the inflation. The result shows that inflation expectation and depreciation/appreciation have a positive significant impact to inflation. In the other side the output gap just has an impact for long run. The wider output gap will make the higher inflation. In the long run, Indonesia Phillips Curve has a vertical shape. The last result is the structural break in real exchange rate and interest rate has a significant impact to inflation behavior.

Key words: Structural break, Innovational Outlier model, Additive Outlier Model, New Keynesian Phillips Curve, Indonesia.

Paper ini telah dipresentasikan dalam Seminar Akademik Tahunan Ekonomi III, UI-Bank Indonesia, Jakarta, 6-7 Desember 2006, dan dimuat di Jurnal Ekonomi dan Bisnis, UKSW, 2008

Full Paper dapat diperoleh di http://rapidshare.com/files/151336224/ikarahutami_Jeda_Struktural_dalam_Suku_Bunga_Dan_Kurs_.doc

Inflation Targeting: Mengapa Diperlukan dan Bagaimana Supaya Dapat Bekerja Dengan Lebih Baik?

Paper ini telah dimuat di Buletin Ekonomi, Jurnal Manajemen, Akuntansi dan Ekonomi Pembangunan Vol 5. No.2, Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, 2007

berikut petikannya

Dinamika perekonomian ditentukan oleh interaksi simultan antar empat blok perekonomian yaitu blok moneter, blok fiskal, blok eksternal dan blok riil. Di antara ke empat blok perekonomian tersebut blok moneter merupakan jantung perekonomian, yang memegang peran penting dalam pencapaian tujuan ekonomi. Peran Bank Indonesia sebagai bank sentral yang memegang otoritas moneter telah mengalami perubahan dari periode ke periode terutama berkaitan dengan unsur kelembagaan, instrumen dan jangkar yang digunakan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pada awalnya sesuai dengan UU Pokok Bank Indonesia tahun 1953 pasal 7, tugas utama Bank Indonesia adalah menjaga stabilitas mata uang, menyelenggarakan peredaran uang, memajukan sistem perbankan serta mengawasi kegiatan perbankan dan perkreditan (Rahardjo, 1995:4). Tugas ini sedikit bergeser dalam UU No 13 tahun 1968, yang menyebutkan bahwa tugas pokok Bank Indonesia adalah membentu pemerintah mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah, mendorong kelancaran produksi dan pembangunan, serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat (Nopirin, 2000:46). Akibat krisis keuangan pada tahun 1997 dan berlanjut menjadi krisis ekonomi, maka otoritas moneter merasa perlu membuat kebijakan ekonomi yang lebih optimal untuk dapat mengatasi keterpurukan ekonomi Indonesia. Salah satu upaya meningkatkan kinerja Bank Indonesia, maka dikeluarkan UU No. 23 tahun 1999. UU tersebut mengakibatkan adanya perubahan orientasi tugas Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. Bank Indonesia tidak lagi terbebani sebagai agen pembangunan tetapi lebih berfungsi sebagai penjaga stabilitas ekonomi. Secara lebih spesifik tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Ada pun tugas utama Bank Indonesia adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan mengatur serta mengawasi bank. Stabilitas ekonomi ini dijaga melalui stabilitas harga yang harapannya, melalui stabilitas harga maka kinerja ekonomi makro baik secara internal maupun eksternal yang terkait dengan neraca pembayaran internasional akan terjaga pula.

Implikasi dari UU No 23 tahun 1999 adalah adanya perubahan bobot independensi Bank Indonesia. Bila sebelum tahun 1999 Bank Indonesia bukanlah merupakan lembaga yang independen, maka dari tahun 1999 Bank Indonesia diberikan kewenangan menjadi lembaga yang independen meskipun pada tahun 2004 independensinya menjadi relatif berkurang karena Bank Indonesia menjadi lembaga yang memiliki keterkaitan dengan departemen Keuangan selaku representasi dari pemerintah. Interseksi antara Bank Indonesia dan pemerintah ini menunjukkan adanya koordinasi antar dua lembaga terutama dalam pnentuan tujuan akhir kebijakan .

Implikasi lain dari UU No 23 tahun 1999 terjadi perubahan jangkar moneter. Sebelum tahun 1997, Bank Indonesia menggunakan paradigma uang aktif untuk menstabilkan harga. Paradigma uang aktif merupakan kebijakan yang menggunakan besaran moneter sebagai jangkar moneter (lebih dikenal dengan monetary targeting – yang selanjutnya disebut dengan MT). Salah satu sebab kenapa Bank Indonesia menggunakan besaran moneter sebagai jangkar adalah adanya kelebihan dan ekspansi likuiditas dipandang sebagai sumber ketidakseimbangan. Pada saat itu kelebihan likuiditas di perbankan terjadi karena dikucurkannya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk program rekapitalisasi dan restrukturisasi perbankan. MT ini sangat tergantung pada stabilitas velositas uang beredar dan kemampuan bank sentral dalam mengendalikan uang kartal. Namun karena banyaknya kejutan ekonomi dalam masa krisis tahun 1997 maka hubungan antara uang primer dan harga menjadi tidak stabil. Kondisi ini menyebabkan Bank Indonesia menjadi cenderung bias dalam menggunakan jangkar moneter, bahkan penelitian Carare dan Stone (2002) menunjukkan bahwa Bank Indonesia merupakan bank sentral yang tidak memiliki komitmen yang jelas (without clear commitmet), karena tetap menjangkarkan kebijakannya pada 3 hal yaitu inflasi, suku bunga riil dan perubahan uang primer.

Bila berminat lanjutannya silakan klik http://rapidshare.com/files/151335959/ikarahutami_Inflation_Targeting.doc

DAMPAK VOLATILITAS NILAI TUKAR TERHADAP ARUS PERDAGANGAN INDONESIA (PENDEKATAN ARDL-ECM)

Paper ini ditulis bersama Sri Yani, dan dimuat di Jurnal Ekonomi Indonesia No. 2 Desember 2006

abstractnya

This paper empirically investigates the impact of exchange rate volatility on the trade flows of Indonesia to its five major trading partners for the period 1975-2005. The standard deviation of the percentage change in the real exchange rate is employed to measure the exchange rate volatility. ARDL bounds testing approach procedure and error-correction models are used to obtain the estimates of the co-integrating relations and the short-run dynamics. The results obtained in this paper, on the whole, provide evidence that the exchange rate volatility has a significant negative effect on exports (in the short run) and a significant positive effect on import (in the short and long run). In the short and long run, foreign GDP and term of trade do not have a significant effect cause of export commodities disadvantage

lebih lanjut bisa dibaca di http://rapidshare.com/files/130317878/ika_rahutami_volatilitas_nilai_tukar.doc

Analisis Permintaan Bahan Pangan Hewani: Pendekatan Error Correction Linear Approximation Almost Ideal Demand System

Paper ini saya buat sebagai latihan untuk model ekonometri yang baru yaitu Pendekatan Error Correction Linear Approximation Almost Ideal Demand System. Pendekatan ini tidak sekedar error correction model biasa, namun menggunakan berbagai restriksi yang sesuai dengan model Almost Ideal Demand System. Paper ini juga dimuat di Jurnal Media Ekonomi, Usakti 2005

Abstractnya

Animal based food demand had a tendency to decrease sharply in 1999-2002, while the aggregate food demand always increased. This research, used Error correction-Linear Approximation-Almost Ideal Demand System, aimed to estimate animal based food demand behavior in Indonesia. Annually data from 1970 to 2002 was used in this research. The expenditure variable was identified as an exogenous variable; consequently The Seemingly Uncorrelated Regression was used. Research result showed that the demand behavior didn’t have the habit effect. Short and Long Run Marshallian price elasticity had a negative sign, but the long run price elasticity was more elastic than the short run. Short run cross-price elasticity showed a negative sign that indicated beef, chicken and fish were complementary goods. In the short and long run, beef, chicken and fish were normal goods. Such was this case of Hicksian elasticity that showed the negativity restriction was satisfied.

Key Words: Animal based food demand, EC-LA/AIDS, Seemingly Uncorrelated Regression

Read more on http://rapidshare.com/files/130316814/ika_rahutami_permintaan_bahan_pangan_hewani.doc

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA : KEBERADAAN PENANAMAN MODAL ASING DAN FENOMENA POLLUTION HAVENS

Fenomena Pollution Havens merupakan hal yang harus diwaspadai saat ini.
Paper ini mencoba mengupasnya di tahun 2003, Telah dipresentasikan dalam simposium nasional APTIK, 5 Februari 2003, di UAJY (mendapat award), dan dimuat di Jurnal Media Ekonomi, Usakti)

Abstract
Economics development aims is a better welfare economics and optimal aggregate production achievement. One of many factors that induced production process is technology. Unfortunately, technology is a kind of expensive goods to access it well, especially for developing countries. Some previous research showed that foreign investment was a solution for technology transfer, although some research also proved that foreign investment would cause a pollution havens phenomena. This research tries to analyze industry performance, such as economies scale, technical efficiency and technological progress, and pollution havens condition in Indonesia. Ordinary least square used in this research generates the results and proves that Indonesia’s industries have not had an economies scale condition and consisted a negative technological progress. The Indonesian dirty industries condition indicates that technological progress in dirty industries is caused by foreign investment and industry relocation from developed countries.
Key words: economics development, pollution havens, industry relocation, and dirty industries

baca lebih lanjut di sini saja

ANALISIS FENOMENA INFLASI DI INDONESIA 1980.1-1999.4

tulisan ini telah dimuat di Jurnal Kinerja 2001

Petikannya:

Antara tahun 1980 sampai dengan tahun 1990 negara-negara di Asia menikmati pertumbuhan yang begitu tinggi (mendekati 8% per tahun). Pertumbuhan ekonomi yang demikian tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding dengan Ametika Serikat dan negara-negara Eropa membuat negara-negara di Asia dijuluki dengan “Asian Miracle”. Namun “miracle” tersebut dengan cepat berganti menjadi kondisi krisis yang berkepanjangan sejak Juli 1997. Di mulai dengan krisis di Thailand dan bergerak ke Malaysia, Indonesia serta Korea Selatan, menyebabkan berubahnya sebutan bagi negara-negara tersebut menjadi “Asia Contangion” (www. Fact.com, issue date 20 March 1998, retrieve February 2000).

Devaluasi menjadi penyebab utama terjadinya krisis ekonomi di Asia dan akhirnya menimbulkan masalah inflasi di dalam negeri. Inflasi merupakan masalah ekonomi makro yang mempengaruhi perekonomiaan secara riil karena memberikan tekanan bagi investasi dan menghalangi pertumbuhan ekonomi. Penelitian World Bank (World Bank Institute Home Page, retrieve Februari 2000) mengenai inflasi dan pertumbuhan di 127 negara antara tahun 1960-1992 menunjukkan adanya hubungan yang erat antara tingkat inflasi dan penurunan pertumbuhan ekonomi. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa pada tingkat inflasi yang rendah-menengah (20-40%) tidak secara langsung menyebabkan penurunan pertumbuhan sedangkan tingkat inflasi diatas 40% merupakan inflasi yang sangat membahayakan. Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas inflasi merupakan masalah ekonomi makro yang perlu mendapat perhatian baik untuk mencari penyebab maupun solusi untuk mengatasinya.

Sejak tahun 1986 Indonesia mengalami fluktuasi harga yang beragam. Tingkat inflasi tertinggi yang dialami Indonesia terjadi pada tahun 1997 dan 1998 sebesar 11,05% dan 77,63%. Data inflasi menunjukkan bahwa pergerakan harga di Indonesia relatif tidak stabil. Adanya krisis ekonomi pada pertengahan 1997, telah mendorong tingkat inflasi menjadi sedemikian tinggi. Pada tahun 1999 dan 2000 tingkat inflasi telah mengalami penurunan, walaupun kondisi tersebut tidak selalu menjamin stabilitas harga.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa inflasi di Indonesia lebih didominasi oleh penyebab non ekonomis. Permasalahan penyebab ekonomis dan non ekonomis di Indonesia memang menimbulkan kontroversi yang cukup tinggi. Aspek-aspek non ekonomis terkadang memberikan pengaruh yang signifikan bagi perubahan-perubahan indikator ekonomi. Dalam tulisan ini, faktor-faktor non ekonomis dieliminir dan diasumsikan tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada tingkat inflasi. Fenomena inflasi di Indonesia sendiri memunculkan banyak pendapat mengenai sumber inflasi dan aspek kausalitas.

Di satu sisi terdapat kelompok yang mengatakan inflasi di Indonesia dipicu oleh Jumlah uang beredar yang terlampau besar dan di sisi lain terdapat kelompok yang mengatakan bahwa inflasi di Indonesia disebabkan karena ketergantungan Indonesia bagi barang impor. Sisi kausalitas inflasi muncul karena inflasi itu tidak hanya merupakan akibat dari faktor ekonomi namun juga dapat menyebabkan perubahan faktor ekonomi yang lain. Berdasar latar belakang tersebut maka kajian ini akan mengamati fenomena inflasi yang terjadi di Indonesia baik dari sisi penyebab maupun aspek kausalitas.

read more - http://rapidshare.com/files/130315695/ika_rahutami_fenomena_inflasi.doc

IMPAK KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO TERHADAP EFISIENSI EKONOMI INDONESIA PERIODE 1980.1-1999.4 (ANALISIS KOINTEGRASI)

The economic crisis remains to be fundamental economic problem for many countries. Many of research done to found the cause and solve the main problem of the crisis. This research use co-integration regression method to observe the long run of economics policy effects. This research statistically examines the impact of Indonesian economics policies to economics efficiency. The analysis point only four variables that have a significant impact; real interest rate, inflation, government expenditure, and real exchange rate. The other economic factors, such as export, banking credit, do not have significant impact. This research also find that data is a stationer data so in the long run, economic policies have a significant implication to the economic efficiency.

Key words: Economics efficiency, economic crisis, macroeconomic policies, co-integration regression.


paper ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang dibiayai oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia tahun 2001 dan di muat di jurnal Kompak. Read more disini

PPP : SUATU SOLUSI PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH YANG BERBASIS KOMPETENSI

Pertanyaan yang muncul dari keterkaitan antara otonomi daerah dengan globalisasi adalah siapa yang akan menjadi pelaku dalam proses pembangunan tersebut? Bila pemberlakuan otonomi daerah dalam era globalisasi menuntut suatu daerah kembali menata pembangunan ekonominya agar memiliki core-competence sehingga daerah tersebut akan mampu bertahan, berkembang dan bersaing dengan daerah lain maka diperlukan sinergi antar segenap pelaku ekonomi. Suatu konsep yang dapat digunakan adalah Public-Private Partnership (PPP).
Konsep PPP pertama kali muncul pada Juni 1998 di British Columbia. Konsep PPP merupakan bentuk kerjasama antara pemerintah dengan sektor swasta dalam menyediakan jasa, fasilitas dan infrastruktur (www.marh.gov.bc.ca ). Karakteristik dari PPP adalah kemitraan dimana terdapat sharing antara pemerintah dan swasta dalam bentuk investasi,resiko, tanggung jawab dan reward. Kemitraan tersebut tidak dibangun pada aturan dan pola tanggung jawab yang seragam, namun biasanya bervariasi antara poyek yang satu dengan yang lain. Konsep PPP dapat pula tidak hanya dipandang dari sisi public dan private sector saja.

Paper ini telah saya presentasikan dalam Serial discussion Otonomi Daerah di Unika Soegijapranata, Agustus 2001. Read more on http://rapidshare.com/files/130314673/ika_rahutami_otonomi_daerah.doc

aktif lagi

sudah lama banget saya tidak mengisi blog ekonomi saya
dan kemarin beberapa teman dan mahasiswa S2, menanyakan atau meminta beberapa file saya
nah dari pada bingung, lebih baik saya upload lewat blog ini
mudah-mudahan bermanfaat..
dan semoga membuat saya lebih giat mengisinya lagi

salam
ika

Saturday, July 12, 2008

pengalihan hari produksi dan krisis energi

kemarin, baru saja maksudku
keluar SKB di sektor produksi mengenai pengalihan hari produksi dan krisis energi
pengalihan hari ini dimaksudkan untuk mengurangi beban energi yang menumpuk
dari hari senin sampai hari jumat

aku berpikir,
kenapa beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kadang kontraproduktif
terhadap dunia produksi maupun dunia investasi kita?
atau ini wujud dari keinginan pemerintah untuk dianggap memperhatikan rakyat kecil?
sehingga gak sering-sering di demo?

pastinya bukan begitu langkah yang seharusnya di ambil
coba bayangkan saja, sekarang ini harga BBM untuk rumah tangga jauh lebih murah dari
harga BBM untuk industri (dan spreadnya cukup tinggi)
demikian juga harga listrik.
padahal kalo dipikir, rumah tangga itu tidak menghasilkan value added apa pun
dan justru sektor industrilah yang seharusnya mendapat support yang lebih tinggi.
mungkin kita bisa cek juga negara lain...
bagaimana rumah tangga di ajak untuk berhemat energi,
mungkin biar tidak terjadi tunggakan yang begitu besar, perlu adanya prepaid untuk listrik
sehingga rumah tangga juga akan mikir ketika memakainya
(kayak pulsa hp aja, tapi mungkin efektif, karena toh shanghai, dan beberapa kota di China
juga menerapkan hal ini)

memang kalo kebijakan harga listrik dan BBM di rumah tangga diubah, pasti pemerintah semakin tidak populer
tapi toh, tetap harus diperhatikan, setidaknya jangan bikin suatu kebijakan
yang akan menyurutkan langkah investor masuk indonesia
lha kalo sektor industri di kasih aturan macem2 semacam ini bagaimana mereka tidak memilih
untuk pergi ke Vietnam?

so... penggalihan hari produksi bukan keputusan terbaik.
krisis energi tidak boleh ditimpakan hanya pada sektor industri
ini kesalahan sistem sejak dulu
dan ya harus bersama-sama kita ubah...
berat memang... tapi toh harus dilakukan
 

Friday, June 13, 2008

INFLASI TRANSPORTASI: SEKEDAR FENOMENA PERMUKAAN

Kenaikan harga BBM pada 24 Mei 2008 sebesar 28,7 persen sampai saat ini masih mendapat reaksi keras dari masyarakat padahal kenaikan ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan pada Oktober 2005 yang mencapai 114 persen. Kemarin, Senin, 2 Juni 2008, Organda di Kota Semarang pun sudah berekasi dengan turun ke jalan. Dalam waktu yang sama, Suara Merdeka, memuat hasil riset Kantor Bank Indonesia Semarang mengenai proyeksi inflasi di Jawa Tengah. Hasil proyeksi yang dilakukan BI sebenarnya tidak cukup mengejutkan, namun juga tidak bisa diabaikan. Tidak mengejutkannya karena laju inflasi yang terjadi merupakan konsekuensi logis dari kenaikan harga BBM. Lalu kenapa tidak boleh didiamkan? Data inflasi yang dikeluarkan oleh BI Semarang kemarin hanya menunjukkan ‘permukaan’ inflasi, padahal komponen inflasi sendiri beragam, dan masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Sehingga menurut saya yang terpenting justru mengetahui bagaimana pola komponen inflasi tersebut, agar dapat dilakukan tindakan antisipatif.

Benarkah hanya berdampak di kelompok transportasi?

Secara sederhana, kenaikan harga BBM akan mendorong terjadinya inflasi yang lebih tinggi. BI Semarang memroyeksikan inflasi IHK tahun 2008 di Jawa Tengah diperkirakan mencapai 9,8 persen - 10,8 persen. Proyeksi ini lebih tinggi dibandingkan target awal inflasi yang ditetapkan yaitu 5,5 persen - 6,5 persen. Inflasi yang diumumkan oleh BI Semarang merupakan proyeksi inflasi pasca kenaikan harga BBM, sehingga kemungkinan besar simulasi dan proyeksi didasarkan pada asumsi kenaikan harga BBM.

Dampak kenaikan harga BBM terhadap kelompok barang sangat tergantung pada komposisi biaya BBM dibandingkan dengan total biaya yang dikeluarkan. Sehingga sangat wajar bila organisasi usaha yang paling banyak ‘berteriak’ mereaksi kenaikan harga BBM ini adalah organisasi yang bergerak di bidang angkutan umum. Angkutan umum merupakan fasilitas publik yang seharusnya menjadi domain pemerintah namun tampaknya lebih banyak diusahakan oleh sektor swasta. Kondisi ini menyebabkan munculnya kesan bahwa pemerintah seakan-akan lepas tanggung jawab dan membiarkan bebannya ditanggung oleh pihak swasta.

Kilas balik ke Oktober 2005, ketika pemerintah menaikkan harga BBM maka terjadi inflasi sebesar 17,43 persen (year on yearyoy - Oktober 2005). Kenaikan harga terbesar pada saat itu terjadi di kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan yang mencapai 39,48 persen, dan sampai dengan Desember 2005, kenaikan harga di kelompok transportasi masih sangat tinggi. Komposisi ini mengalami perubahan yang drastis mulai tahun 2006 sampai ke April 2008. Kelompok transportasi di Jawa Tengah tidak lagi mengalami kenaikan harga yang berarti, bahkan pada April 2008 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 0,03 persen. Trend perubahan harga yang terjadi di kelompok transportasi ini tampaknya juga menyelamatkan inflasi bulanan Jawa Tengah pasca kenaikan BBM. Harapannya adalah lonjakan kenaikan harga angkutan umum tidak terlalu tinggi, dan seharusnya tidak mencapai di atas 2 digit.

Namun apakah benar hanya sektor transportasi yang dihantam? Tentu saja tidak. Kalau menilik data-data yang dikeluarkan oleh BI Semarang dalam Kajian Ekonomi Regional, maka tampak jelas bagaimana perilaku masyarakat ketika terjadi inflasi ‘dadakan’ akibat ulah pemerintah dalam menetapkan harga. Shock harga BBM di tahun 2005 juga mengakibatkan kenaikan harga tinggi di sektor perumahan, makanan jadi, minuman dan bahan makanan. Komposisi ini berubah sejak Desember 2006 sampai 2008. Inflasi (yoy) yang dominan di April 2008 justru terdapat pada kelompok makanan, sandang, pendidikan dan papan.

Pola inflasi Jawa Tengah menunjukkan kecenderungan bahwa shock harga BBM relatif dapat dengan cepat teredam di kelompok transportasi, dan yang kembali mendominasi justru kelompok barang yang bersifat kebutuhan pokok seperti makanan, sandang dan papan, di samping kelompok pendidikan yang memiliki inflasi cukup tinggi sejak 2006.

Kelompok pangan, pendidikan dan papan: perlu perhatian

Tampaknya kelompok kebutuhan dasar harus dipantau benar-benar oleh pemerintah Jawa Tengah, karena bahan pangan memiliki karakteristik harga yang sangat volatil (April 2008 kenaikan harga yoynya mencapai 16,29 persen). Meskipun terjadi surplus beras di Jawa Tengah, namun persoalan pangan tidak sekedar persoalan surplus atau defisit stok bahan pangan. Persoalan pangan juga harus memperhatikan unsur distribusi dan daya beli masyarakat. Sangat ironis rasanya bila masyarakat Jawa Tengah kelaparan di tengah lumbung padi itu sendiri!!

Kenaikan harga di kelompok pendidikan juga harus cukup diwaspadai. Kenaikan harga BBM saat ini sangat dekat dengan penerimaan siswa baru. Pergantian tahun ajaran pastilah membutuhkan buku ajar baru dan peralatan sekolah baru. Tanpa kenaikan BBM saja, pada April 2008 inflasi yoy di kelompok pendidikan telah mencapai 8 persen, lalu bagaimana pasca penaikan harga BBM? Suatu hasil riset (Ikhsan Modjo, 2007) menunjukkan bahwa prosentase biaya BBM pada industri kertas dan produk kertas mencapai 12 persen dari total biaya. Sehingga apabila terdapat kenaikan BBM sebesar ± 30 persen, diperkirakan akan menaikkan harga kertas dan produk kertas sebesar 3,6 persen. Komposisi ini pastilah akan sangat berpengaruh pada sektor pendidikan. Kalau dana BOS yang digulirkan perbulan tetap rata-rata Rp 20.000, maka terdapat kemungkinan dana ini semakin tidak mencukupi. Pemerintah Jawa Tengah diharapkan mampu melakukan tindakan antisipatif, terutama untuk menyelamatkan agenda wajib belajar 9 tahun.

Kelompok barang lain yang harus bersiap-siap adalah sektor properti. Data inflasi yoy April 2008 kelompok perumahan mencapai 6,47 persen. Pasca kenaikan BBM, mungkin akan mengalami kenaikan yang semakin tinggi, karena sektor properti menggunakan bahan baku yang mengkonsumsi BBM paling tinggi (misalnya prosentase biaya BBM di industri besi baja mencapai 11, 9 persen dan industri semen, kaca mencapai 33,7 persen). Kalau harga perumahan akan cenderung melonjak, maka permasalahan kembali muncul untuk lapis masyarakat kelas bawah. Pembelian RSS akan semakin tidak terjangkau, dan mau tidak mau harus ada campur tangan pemerintah didalamnya.

Jangan terkecoh

Melihat pola inflasi Jawa Tengah, pemerintah harus lebih cermat dan jangan sampai terkecoh dengan fenomena yang ada. Inflasi di kelompok transportasi memang lebih instan, namun ternyata lebih bersifat sesaat dan kemudian kembali stabil. Fokus pemerintah harus melebar karena di balik fenomena ini terdapat kelompok yang lebih rentan yang justru tidak boleh terabaikan yaitu kebutuhan dasar masyarakat berupa pangan, papan dan pendidikan. Inilah tantangan sebenarnya bagi pemerintah Jawa Tengah pasca kenaikan harga BBM.

Solo Batik Carnival: Saat yang Tepat Menuju Culturepreneur

Solo Batik Carnival (SBC) yang diselenggarakan pada 13 April 2008 di sepanjang Jalan Slamet Riyadi Solo, tidak saja menunjukkan kegairahan baru dalam dunia batik di Solo, namun juga menjadi trend tekstil dan fashion di Indonesia. Bagaimana tidak? Kalau diamati secara seksama, mulai awal Januari 2008 ini, banyak sekali selebritas tanah air yang dulunya international designer-minded, sekarang wira-wiri menggunakan batik. Mungkin memang kita harus ‘tertampar’ oleh kasus hak paten batik terlebih dahulu sebelum berani bangga atas lokalitas kita. SBC yang besar dan ramai ini, tentunya akan sangat sayang bila hanya lewat begitu saja tanpa memiliki makna bagi bangkitnya industri batik di Jawa (dan bahkan lebih luas lagi di Indonesia, karena batik tidak hanya milik Jawa).

Culturepreneur untuk pengembangan batik

SBC sendiri menunjukkan adanya sinergi yang kuat dan unik antara perajin batik, pelaku ekonomi dan pemerintah. Sinergi ini tentunya menarik dan penting, karena pengembangan industri batik bukanlah hal yang mudah. Industri batik memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan industri lain. Industri batik menjadi unik karena industri ini merupakan perpaduan antara seni, teknologi dan ekonomi. Tidak semua perajin batik mampu memadukan ketiga unsur ini dalam rutinitas produksinya.

Masalah ini lebih dirasakan oleh industri batik yang tidak diproduksi masal namun batik tulis yang diproduksi secara tradisional. Sebagai seniman tradisional yang menorehkan cantingnya berdasarkan feeling dan ragam corak yang mentradisi, perajin batik cenderung bersifat moody. Sifat moody, suatu ciri seniman yang murni seniman dan belum terkontaminasi oleh ekonomisasi seni, membuat karya batik yang dihasilkan tidak ajeg, sehingga sulit untuk memenuhi pesanan dalam jumlah besar dan kontinyu. Padahal tuntutan pasar dewasa ini (terutama pasar ekspor) adalah disain batik yang unik, tidak ‘pasaran’, serta mampu mempertahankan pasokannya.

Menurut Moxey dan Studd (2000), industri yang berbasis seni seperti batik, harus selalu mengembangkan produk baru. Pengembangan disain produk ini tidak mudah. Kesulitan yang melekat pada disain produk seni adalah mendefinisikan keinginan pelanggan dan penciptaan disain yang mampu menjadi trend pada masa yang akan datang. Motif baru batik dapat didorong dengan pelibatan institusi pendidikan seni dalam bentuk lomba disain atau pembuatan motif baru, sehingga ketika melihat motif tertentu dalam batik, pelanggan dapat dengan cepat menyatakan ini adalah motif khas Semarangan, motif khas Wukirsari Bantul, motif khas Bayat Klaten, dan sentra-sentra batik lainnya.

Adanya tekanan bagi perajin seni ketika mereka harus mengembangkan karya mereka di luar model yang tradisional bukanlah hal yang mudah. Mau tidak mau untuk memenangi persaingan tekstil dan fashion, pengembangan industri batik tidak dapat lagi menggunakan pola-pola tradisional. Salah satu konsep yang ditawarkan oleh Davies dan Ford (2000) untuk pengembangan industri berbasis seni adalah konsep culturepreneur. Culturepreneur merupakan hybrid professional yang mengemas dan menjual produk seni ke pelanggan, menyediakan jembatan agar komunitas seni dapat berhubungan dengan dunia bisnis dan pembuat kebijakan. Kunci keberhasilan culturepreneur adalah kemampuan untuk memproses sejumlah besar informasi, berpikir strategis, dan mengembangkan komunikasi dengan jaringannya.

Pengembangan komunikasi untuk penciptaan jejaring tidak bisa dilakukan sendiri oleh perajin karena membutuhkan pihak lain baik swasta maupun pemerintah yang memiliki akses lebih luas untuk terlibat didalamnya. Peran pemerintah dan pengusaha untuk memfasilitasi eksebisi, pameran batik atau karnaval semacam SBC tentunya akan mendukung pembentukan jejaring dan pasar yang lebih luas.

SBC: momen yang tepat

Tampaknya SBC kali ini dapat menjadi saat yang tepat untuk pengembangan industri batik. Keterlibatan berbagai unsur dalam penyelenggaraan SBC menunjukkan bahwa jejaring produk dan pemasaran dapat dibangun secara sinergis, dan yang terpenting adalah pada karnaval ini terlihat betapa besar pasar yang bisa digarap oleh industri batik.

Political will pemerintah tampaknya tetap memegang peran penting, karena pasar batik tidak akan dapat berkembang apabila diserahkan pada mekanisme pasar semata. Pemerintah mungkin perlu sedikit melakukan ‘pemaksaan’ agar produk batik tidak terlibas oleh produk tekstil Cina misalnya. ‘Pemaksaan’ ini perlu dilakukan misalnya dalam bentuk penyelenggaraan karnaval batik berkala, pemakaian baju batik pada hari tertentu, atau pun kunjungan wajib wisatawan ke desa wisata batik terpadu. Upaya yang sederhana, namun akan memberikan efek turunan yang besar dan panjang.

SBC menjadi saat yang tepat bagi kita, anak bangsa, untuk mulai memperhatikan industri batik. Dan pastinya tidak ada kata terlambat bagi semua pihak untuk mulai mencintai, dan tidak sekedar mencintai, namun mau membeli, bersedia memakai, dan mempromosikan batik mulai dari orang-orang terdekat dengan kita.