Perekonomian Indonesia akhir2 ini dianggap mempunyai kinerja yang cukup baik. Nilai rupiah mengalami penguatan, meski sempat terjadi fluktuasi, Neraca pembayaran juga mengalami perbaikan. Surplus neraca pembayaran menyebabkan “membengkaknya” cadangan devisa. Keuntungan dari kondisi ini tentu saja adalah menguatnya salah satu faktor fundamental yang menentukan nilai kurs. Keuntungan surplus neraca pembayaran ini melalui mekanisme transmisi kebijakan moneter secara perlahan mampu menekan inflasi menjadi cukup rendah.
Namun pada sisi lain muncul kecurigaan, apakah benar pencapaian inflasi yang rendah tadi merupakan buah dari sistem inflation targeting yang diterapkan oleh Bank Indonesia sebagai tujuan tungga kebijakan moneternya? Bila kita tidak mengurangi rasa apresiasi kita terhadap Bank Indonesia maka mungkin kita dapat berkata bahwa ini adalah andil besar dari kemampuan Bank Indonesia untuk mengelola instrumen kebijakannya sehingga target yang ditetapkan dapat dicapai. Di sisi lain, kita juga tidak dapat menutup mata bahwa pencapaian inflasi yang rendah ini bukan hanya karena kinerja sektor moneter, namun lebih karena melemahnya sektor riil. Kenaikan harga BBM tahun 2005 menyebabkan penurunan daya beli sehingga konsumsi rumah tangga mengalami stagnasi. Investasi melalui kredit perbankan juga tersendat, walaupun ada aliran kredit. Kredit yang tidak dicairkan (undisbursed loan) mencapai Rp 160 triliun. Jadi walaupun sepanjang tahun Bank Indonesia melakukan tindakan-tindakan yang ekspansif berupa penurunan suku bunga, yang seharusnya bisa dipahami bila hal ini berhasil dilakukan maka akan mendorong terjadinya inflasi. Implikasinya, bila terjadi inflasi berarti Bank Indonesia gagal menjaga stabilitas harga. Fakta yang terjadi, penurunan inflasi yang terjadi tidaklah signifikan. Hal ini membuktikan bahwa pukulan ikutan kenaikan harga BBM pada 2005, memiliki efek yang kuat dan lead yang panjang.
Instrumen yang dipakai Bank Indonesia ternyata tetap tidak mampu menggerakkan sektor riil. Masyarakat tidak cukup responsif terhadap suku bunga. Padahal suku bunga adalah instrumen andalan Bank Indonesia dalam mencapai tujuan kebijakannya. Ketika pergerakan suku bunga yang ekspansif ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap inflasi, maka tampaknya Bank Indonesia masih akan bermain dengan suku bunga ini untuk lebih mendorong pergerakan sektor riil dan mencapai pertumbuhan. Pertanyaannya adalah tepatkah tugas pemerintah sebagai agen pertumbuhan didelegasikan ke Bank Indonesia yang seharusnya menjaga stabilitas harga? Apakah ini tidak menimbulkan konflik kepentingan?
Saturday, August 11, 2007
Bajuri atau Doel, Fausi atau Adang????
Kalo keluarganya Doel pilih Fausi, maka keluarganya Bajuri pilih Adang…
Hmmmmmm heboh juga, dan ini selalu terjadi. Dimana pun, kapan pun, mulai dari njago lurah, sampai ke njago presiden.
Sebenarnya perilakunya sama. Menebar pesona, yang kadang tidak terwujudkan ketika mereka benar-benar menjadi lurah atau presiden.
Masing-masing membawa simbol, slogan dan atribut masing-masing. Kalo njago lurah, ya mulai dari bergambar ketela pohon, sampai ke pacul. Dan simbol ini akan semakin seru bila sampai ke tingkat yang lebih tinggi.
Tentu sajalah, masing-masing memiliki tim sukses.. yang ga tanggung-tanggung, mulai yang ahli komunikasi, ahli strategi, sampai ke ‘preman’ yang dapat diharapkan mampu ‘meneduhkan’ suasana.
Kalo kita melihat secara teori ekonomi publik, katakanlah begitu (hehehe) terdapat 3 aspek penting sebuah pilkada adalah electoral regulation, electoral process dan electoral law enforcement. Tiga aspek ini saling kait-mengkait, namun demikian, pada aspek electoral regulation-lah sebuah proses pemilihan akan sangat ditentukan. Bila dipandang dari sisi teori ekonomi publik, pilkada dapat diparalelkan dengan teori mengenai pilihan publik atau public choice. Secara teoritis terdapat tiga agen yang berperan dalam pilihan publik yaitu (i) Pemilih sebagai konsumen, (ii) Politisi sebagai suplier, dan (iii) Birokrat pemerintah sebagai partisipan politis.
Asumsi utama dari pilihan publik adalah masyarakat (pemilih, politisi dan birokrat) berperilaku yang sama dalam arena politik seperti mereka bertindak di pasar, yaitu dimotivasi dengan keinginan pribadi. Bila pilihan publik dikaitkan dengan mekanisme pasar atau diparalelkan dengan konsep keseimbangan pasar untuk barang swasta, maka akan muncul yang disebut sebagai keseimbangan politis yaitu kesepakatan mengenai siapa kandidat yang akan dipilih melalui proses politik.
Aspek penting dalam pilkada adalah para pemilih bisa secara langsung memilih kepala daerah (gubernur-wakil, bupati-wakil, dan wali kota-wakil) yang diinginkan. Implikasi dari sistem demikian adalah para calon yang lebih banyak dikenal (public figure) dan memperoleh kepercayaan (trust) dari masyarakatlah yang akan diuntungkan. Untuk itu, para calon kepala daerah tidak cukup hanya mengandalkan modal sosial dan politik (social and political capital), tetapi juga material, terutama uang.
Dalam masyarakat yang sederhana, uang dalam pilkada, lebih banyak digunakan dalam memobilisasi dukungan, sedangkan dalam masyarakat modern, uang itu lebih banyak digunakan untuk biaya iklan, baik melalui media elektronik maupun media massa. Hal ini terjadi karena model kampanye yang dipakai bukan pengerahan massa, tetapi melalui dua media komunikasi itu. Dan itu yang lebih banyak terjadi sekarang. Para calon biasanya berusaha meyakinkan pemilih melalui iklan-iklan. Para calon yang mampu membayar iklan lebih banyak memiliki peluang lebih popular di kalangan pemilih.
Pada dasarnya proses pilkada itu sendiri berpotensi terjadi penyalahgunaan uang maupun wewenang yang disebut sebagai logrolling. Logrolling adalah praktek perdagangan hak pilih untuk mencapai ukuran tertentu yang tidak akan dicapai oleh kelompok lain. logrolling menimbulkan pro dan kontra. Kelompok yang pro dengan logrolling berargumentasi bahwa logrolling merupakan jalan bagi pemilih untuk mengekspresikan intensitas rasanya dan merupakan satu-satunya jalan untuk kelompok minoritas mendapat peran, sedangkan pendapat yang kontra menunjukkan bahwa logrolling akan menyebabkan meningkatnya ukuran kepemerintahan sehingga tidak efisien. Kondisi ini akan memunculkan mekanisme bagi kelompok yang memiliki kepentingan tertentu untuk mendapatkan manfaat atas pengeluaran seluruh masyarakat.
Seluruh aktivitas ini akan menimbukan dampak bagi perekonomian. Aktivitas logrolling akan menyebabkan biaya sosial marjinal menjadi semakin besar baik dalam proses pilkadal maupun pasca pilkadal karena kandidat yang dipilih tidak dapat mewakili preferensi yang paling diinginkan.
So…..
Kita sekarang mau termakan iklan siapa? Mau ikut Bajuri, atau mau ikut Doel
Tapi ati-ati jangan sampai biaya sosial kita semakin besar
Hmmmmmm heboh juga, dan ini selalu terjadi. Dimana pun, kapan pun, mulai dari njago lurah, sampai ke njago presiden.
Sebenarnya perilakunya sama. Menebar pesona, yang kadang tidak terwujudkan ketika mereka benar-benar menjadi lurah atau presiden.
Masing-masing membawa simbol, slogan dan atribut masing-masing. Kalo njago lurah, ya mulai dari bergambar ketela pohon, sampai ke pacul. Dan simbol ini akan semakin seru bila sampai ke tingkat yang lebih tinggi.
Tentu sajalah, masing-masing memiliki tim sukses.. yang ga tanggung-tanggung, mulai yang ahli komunikasi, ahli strategi, sampai ke ‘preman’ yang dapat diharapkan mampu ‘meneduhkan’ suasana.
Kalo kita melihat secara teori ekonomi publik, katakanlah begitu (hehehe) terdapat 3 aspek penting sebuah pilkada adalah electoral regulation, electoral process dan electoral law enforcement. Tiga aspek ini saling kait-mengkait, namun demikian, pada aspek electoral regulation-lah sebuah proses pemilihan akan sangat ditentukan. Bila dipandang dari sisi teori ekonomi publik, pilkada dapat diparalelkan dengan teori mengenai pilihan publik atau public choice. Secara teoritis terdapat tiga agen yang berperan dalam pilihan publik yaitu (i) Pemilih sebagai konsumen, (ii) Politisi sebagai suplier, dan (iii) Birokrat pemerintah sebagai partisipan politis.
Asumsi utama dari pilihan publik adalah masyarakat (pemilih, politisi dan birokrat) berperilaku yang sama dalam arena politik seperti mereka bertindak di pasar, yaitu dimotivasi dengan keinginan pribadi. Bila pilihan publik dikaitkan dengan mekanisme pasar atau diparalelkan dengan konsep keseimbangan pasar untuk barang swasta, maka akan muncul yang disebut sebagai keseimbangan politis yaitu kesepakatan mengenai siapa kandidat yang akan dipilih melalui proses politik.
Aspek penting dalam pilkada adalah para pemilih bisa secara langsung memilih kepala daerah (gubernur-wakil, bupati-wakil, dan wali kota-wakil) yang diinginkan. Implikasi dari sistem demikian adalah para calon yang lebih banyak dikenal (public figure) dan memperoleh kepercayaan (trust) dari masyarakatlah yang akan diuntungkan. Untuk itu, para calon kepala daerah tidak cukup hanya mengandalkan modal sosial dan politik (social and political capital), tetapi juga material, terutama uang.
Dalam masyarakat yang sederhana, uang dalam pilkada, lebih banyak digunakan dalam memobilisasi dukungan, sedangkan dalam masyarakat modern, uang itu lebih banyak digunakan untuk biaya iklan, baik melalui media elektronik maupun media massa. Hal ini terjadi karena model kampanye yang dipakai bukan pengerahan massa, tetapi melalui dua media komunikasi itu. Dan itu yang lebih banyak terjadi sekarang. Para calon biasanya berusaha meyakinkan pemilih melalui iklan-iklan. Para calon yang mampu membayar iklan lebih banyak memiliki peluang lebih popular di kalangan pemilih.
Pada dasarnya proses pilkada itu sendiri berpotensi terjadi penyalahgunaan uang maupun wewenang yang disebut sebagai logrolling. Logrolling adalah praktek perdagangan hak pilih untuk mencapai ukuran tertentu yang tidak akan dicapai oleh kelompok lain. logrolling menimbulkan pro dan kontra. Kelompok yang pro dengan logrolling berargumentasi bahwa logrolling merupakan jalan bagi pemilih untuk mengekspresikan intensitas rasanya dan merupakan satu-satunya jalan untuk kelompok minoritas mendapat peran, sedangkan pendapat yang kontra menunjukkan bahwa logrolling akan menyebabkan meningkatnya ukuran kepemerintahan sehingga tidak efisien. Kondisi ini akan memunculkan mekanisme bagi kelompok yang memiliki kepentingan tertentu untuk mendapatkan manfaat atas pengeluaran seluruh masyarakat.
Seluruh aktivitas ini akan menimbukan dampak bagi perekonomian. Aktivitas logrolling akan menyebabkan biaya sosial marjinal menjadi semakin besar baik dalam proses pilkadal maupun pasca pilkadal karena kandidat yang dipilih tidak dapat mewakili preferensi yang paling diinginkan.
So…..
Kita sekarang mau termakan iklan siapa? Mau ikut Bajuri, atau mau ikut Doel
Tapi ati-ati jangan sampai biaya sosial kita semakin besar
Inflation targeting
The adoption of inflation target for Indonesia is a desirable option of monetary policy. This decision is induced by new system of exchange rate that is used of Indonesia since August 1997. The economics and institutional pre-condition is required for the successful adoption of inflation targeting. The paper focuses on two issues. First, how is transmission mechanism of monetary policy? Second, is the dominant channel of transmission mechanism will support the inflation targeting adoption? Are the economics and institutional conditions ready for inflation targeting adoption?
The quarterly Indonesia data for the 1981.1 – 2004.2 periods dan the Vector Autoregressions is used as data and method for transmission mechanism model. The empirical results show that real exchange rate is a dominant channel of transmission mechanism. The shocks of real exchange rate will influence output and inflation immediately. The domestic interest rate shocks will affect the output and inflation weaker and slower then real exchange rate shocks. The application of inflation targeting in Indonesia still needs institutional and public commitment to improve the structural economy condition, policy coordination and some other technical issues
tulisan ini dipresentasikan di Surabaya, 2004
benarkan Indonesia telah siap untuk penargetan inflasi? atau jangan-jangan independensi BI justru akan membuat gamang
aku ingat kata-kata Bu Ning, kita ini kemampuan desa (sori tidak mendistorsi peran desa lo), namun mengadopsi semua sistem best practices di dunia. Yang terjadi adalah : GAGAP
The quarterly Indonesia data for the 1981.1 – 2004.2 periods dan the Vector Autoregressions is used as data and method for transmission mechanism model. The empirical results show that real exchange rate is a dominant channel of transmission mechanism. The shocks of real exchange rate will influence output and inflation immediately. The domestic interest rate shocks will affect the output and inflation weaker and slower then real exchange rate shocks. The application of inflation targeting in Indonesia still needs institutional and public commitment to improve the structural economy condition, policy coordination and some other technical issues
tulisan ini dipresentasikan di Surabaya, 2004
benarkan Indonesia telah siap untuk penargetan inflasi? atau jangan-jangan independensi BI justru akan membuat gamang
aku ingat kata-kata Bu Ning, kita ini kemampuan desa (sori tidak mendistorsi peran desa lo), namun mengadopsi semua sistem best practices di dunia. Yang terjadi adalah : GAGAP
DAMPAK VOLATILITAS NILAI TUKAR TERHADAP ARUS PERDAGANGAN INDONESIA (PENDEKATAN ARDL-ECM)
This paper empirically investigates the impact of exchange rate volatility on the trade flows of Indonesia to its five major trading partners for the period 1975-2005. The standard deviation of the percentage change in the real exchange rate is employed to measure the exchange rate volatility. ARDL bounds testing approach procedure and error-correction models are used to obtain the estimates of the co-integrating relations and the short-run dynamics. The results obtained in this paper, on the whole, provide evidence that the exchange rate volatility has a significant negative effect on exports (in the short run) and a significant positive effect on import (in the short and long run). In the short and long run, foreign GDP and term of trade do not have a significant effect cause of export commodities disadvantage
tulisan lengkap ini dimuat dalam Jurnal ISEI 2007 (ditulis bersama Sri Yani)
yang jelas hasil tulisan ini menunjukkan bahwa volatilitas nilai tukar merupakan hal yang tidak dapat dianggap sepele. dan yang menarik adalah perilaku eksportir dan importir yang sangat berbeda. Yang satu tidak risk averse yang satunya lagi risk lover. atau justru ini menunjukkan ketidakkompetitifan kita dan ketergantungan kita pada impor yang tingi?
tulisan lengkap ini dimuat dalam Jurnal ISEI 2007 (ditulis bersama Sri Yani)
yang jelas hasil tulisan ini menunjukkan bahwa volatilitas nilai tukar merupakan hal yang tidak dapat dianggap sepele. dan yang menarik adalah perilaku eksportir dan importir yang sangat berbeda. Yang satu tidak risk averse yang satunya lagi risk lover. atau justru ini menunjukkan ketidakkompetitifan kita dan ketergantungan kita pada impor yang tingi?
Subscribe to:
Posts (Atom)