Kalo keluarganya Doel pilih Fausi, maka keluarganya Bajuri pilih Adang…
Hmmmmmm heboh juga, dan ini selalu terjadi. Dimana pun, kapan pun, mulai dari njago lurah, sampai ke njago presiden.
Sebenarnya perilakunya sama. Menebar pesona, yang kadang tidak terwujudkan ketika mereka benar-benar menjadi lurah atau presiden.
Masing-masing membawa simbol, slogan dan atribut masing-masing. Kalo njago lurah, ya mulai dari bergambar ketela pohon, sampai ke pacul. Dan simbol ini akan semakin seru bila sampai ke tingkat yang lebih tinggi.
Tentu sajalah, masing-masing memiliki tim sukses.. yang ga tanggung-tanggung, mulai yang ahli komunikasi, ahli strategi, sampai ke ‘preman’ yang dapat diharapkan mampu ‘meneduhkan’ suasana.
Kalo kita melihat secara teori ekonomi publik, katakanlah begitu (hehehe) terdapat 3 aspek penting sebuah pilkada adalah electoral regulation, electoral process dan electoral law enforcement. Tiga aspek ini saling kait-mengkait, namun demikian, pada aspek electoral regulation-lah sebuah proses pemilihan akan sangat ditentukan. Bila dipandang dari sisi teori ekonomi publik, pilkada dapat diparalelkan dengan teori mengenai pilihan publik atau public choice. Secara teoritis terdapat tiga agen yang berperan dalam pilihan publik yaitu (i) Pemilih sebagai konsumen, (ii) Politisi sebagai suplier, dan (iii) Birokrat pemerintah sebagai partisipan politis.
Asumsi utama dari pilihan publik adalah masyarakat (pemilih, politisi dan birokrat) berperilaku yang sama dalam arena politik seperti mereka bertindak di pasar, yaitu dimotivasi dengan keinginan pribadi. Bila pilihan publik dikaitkan dengan mekanisme pasar atau diparalelkan dengan konsep keseimbangan pasar untuk barang swasta, maka akan muncul yang disebut sebagai keseimbangan politis yaitu kesepakatan mengenai siapa kandidat yang akan dipilih melalui proses politik.
Aspek penting dalam pilkada adalah para pemilih bisa secara langsung memilih kepala daerah (gubernur-wakil, bupati-wakil, dan wali kota-wakil) yang diinginkan. Implikasi dari sistem demikian adalah para calon yang lebih banyak dikenal (public figure) dan memperoleh kepercayaan (trust) dari masyarakatlah yang akan diuntungkan. Untuk itu, para calon kepala daerah tidak cukup hanya mengandalkan modal sosial dan politik (social and political capital), tetapi juga material, terutama uang.
Dalam masyarakat yang sederhana, uang dalam pilkada, lebih banyak digunakan dalam memobilisasi dukungan, sedangkan dalam masyarakat modern, uang itu lebih banyak digunakan untuk biaya iklan, baik melalui media elektronik maupun media massa. Hal ini terjadi karena model kampanye yang dipakai bukan pengerahan massa, tetapi melalui dua media komunikasi itu. Dan itu yang lebih banyak terjadi sekarang. Para calon biasanya berusaha meyakinkan pemilih melalui iklan-iklan. Para calon yang mampu membayar iklan lebih banyak memiliki peluang lebih popular di kalangan pemilih.
Pada dasarnya proses pilkada itu sendiri berpotensi terjadi penyalahgunaan uang maupun wewenang yang disebut sebagai logrolling. Logrolling adalah praktek perdagangan hak pilih untuk mencapai ukuran tertentu yang tidak akan dicapai oleh kelompok lain. logrolling menimbulkan pro dan kontra. Kelompok yang pro dengan logrolling berargumentasi bahwa logrolling merupakan jalan bagi pemilih untuk mengekspresikan intensitas rasanya dan merupakan satu-satunya jalan untuk kelompok minoritas mendapat peran, sedangkan pendapat yang kontra menunjukkan bahwa logrolling akan menyebabkan meningkatnya ukuran kepemerintahan sehingga tidak efisien. Kondisi ini akan memunculkan mekanisme bagi kelompok yang memiliki kepentingan tertentu untuk mendapatkan manfaat atas pengeluaran seluruh masyarakat.
Seluruh aktivitas ini akan menimbukan dampak bagi perekonomian. Aktivitas logrolling akan menyebabkan biaya sosial marjinal menjadi semakin besar baik dalam proses pilkadal maupun pasca pilkadal karena kandidat yang dipilih tidak dapat mewakili preferensi yang paling diinginkan.
So…..
Kita sekarang mau termakan iklan siapa? Mau ikut Bajuri, atau mau ikut Doel
Tapi ati-ati jangan sampai biaya sosial kita semakin besar
Saturday, August 11, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment