Friday, February 22, 2008

Ketika BI “Bicara”

Pemilihan gubernur BI jadi isu anget sekarang ini... mana yang maunya harus internal, mana yang pak presiden juga kekeh dengan pilihannya...
tapi kalo aku sih mikir, siapapun gubernurnya, kayaknya yang lebih penting adalah sistemnya kok. Yang terpenting adalah bagaimana mengkomunikasikan kebijakan tersebut

mengapa gitu???

Komunikasi kebijakan moneter memang nggak mudah, karena adanya limits of human information processing skills. Selanjutnya komunikasi kebijakan ini akan berkaitan dengan prediktabilitas dan transparansi. Kenaikan transparansi tidak secara otomatis selalu menjamin prediksi yang tepat, terutama bila unsur kejutan bersifat eksogen.

BI saat ini menggunakan suku bunga BI Rate sebagai sinyal (stance) respon kebijakan moneter dan sasaran operasi moneter. Komunikasi yang dilakukan oleh BI mencakup pengumuman dan penjelasan pencapaian sasaran inflasi, kerangka kerja dan langkah-langkah kebijakan moneter yang telah dan akan ditempuh, jadwal RDG, serta hal-hal lain yang ditetapkan oleh Dewan Gubernur. Penyampaian dilakukan melalui berbagai bentuk, tidak terbatas pada media massa, namun juga pelaku ekonomi, kalangan pakar dan akademisi. Upaya komunikasi yang dilakukan oleh BI tersebut menimbulkan pertanyaan yaitu apakah seluruh upaya ini sudah menjamin efektivitas komunikasi kebijakan moneter oleh BI?

Pada kenyataannya komunikasi kebijakan moneter di Indonesia masih terbatas pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tertentu dan yang mampu mengakses informasi saja. Komunikasi BI menjadi tidak optimal karena masalah asimetri informasi dan heterogenitas pengetahuan, sehingga interpretasi yang terbentuk tidak selalu sama dengan jalur yang diharapkan oleh BI.

Saya melihat ada tiga masalah utama bank sentral termasuk BI ketika mengkomunikasikan kebijakan moneter.

Masalah pertama adalah data yang menjadi input dari informasi yang dipublikasikan oleh bank sentral. Data seringkali mencerminkan spektrum yang luas dari suatu kondisi, namun di lain pihak data sering tidak dapat menjelaskan dirinya sendiri, sehingga muatan informasinya akan berubah tergantung dari cara mereka dikomunikasikan. Spektrum informasi yang luas menunjukkan adanya kemungkinan heterogenitas pemahaman. Kondisi ini menuntut bank sentral untuk tidak hanya sekedar mempublikasikan data namun juga tidak dapat mengindari kebutuhan menseleksi, mengkualifikasikan dan mengomentari informasi.

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh bank sentral adalah memberikan pemahaman analisis mengenai outlook ekonomi, khususnya determinan permintaan agregat, potensi penawaran, dan inflasi. Hal ini menjadi penting karena masyarakat memiliki keterbatasan prediksi numerik, sehingga angka yang ditampilkan perlu disertai dengan analisis dan rasionalisasi kualitatif. Diskusi semacam ini akan menolong masyarakat untuk menginterpretasikan data dan membiarkan pasar merespon secara konstruktif setiap kejutan dalam data.

Bila selama ini ekspektasi Bank Indonesia diperoleh melalui survey, maka pertanyaannya adalah apakah informasi yang diperoleh dari survei tersebut secara ekonomi bersifat reliabel sehingga pengumpulan data benar-benar mencerminkan ekspektasi pasar? Apakah tidak terdapat bias misalnya ketidakakuratan respon, atau adanya kolusi dengan beberapa responden dalam menjawab pertanyaan? Hati-hati terutama bila survei ini diserahkan pada pihak ketiga seperti yang BI lakukan selama ini, butuh kontrol ketat dari KBI di daerah.

Masalah kedua adalah kecenderungan tidak adanya perubahan pola komunikasi pada saat kerentanan ekonomi. Pembentukan ekspektasi berdasarkan survei bukanlah satu-satunya hal yang akan membuat bank sentral menjadi lebih prediktabel dan kredibel. Untuk memperoleh kredibilitas maka diperlukan diskusi yang baik, klarifikasi dan justifikasi atas kesalahan kebijakan yang lampau dan langkah kebijakan ke depan yang diambil. Pada dasarnya komunikasi bank sentral setidaknya memiliki dua fungsi yaitu sinyaling jangka pendek dan konsistensi jangka panjang (Issing, 2005). Dalam sinyaling jangka pendek, indikasi atas keputusan yang akan datang harus selalu dipandang sebagai komitmen kondisional, karena jika apa yang disampaikan bank sentral dipahami sebagai sesuatu yang unconditional, maka kondisi ini akan berbahaya dalam jangka yang lebih panjang. Di lain pihak, kebijakan moneter akan terprediksi dan kredibel jika konsistensi jangka panjang tercapai.

Jika bank sentral mengkomunikasikan kebijakannya secara baik ke pelaku ekonomi, maka akan memunculkan kredibilitas. Sayangnya, pengumuman mengenai prediksi variabel ekonomi makro atau indikasi pencapaian kebijakan moneter di masa yang akan datang lebih banyak mengasumsikan kebijakan yang konstan selama periode prediksi (Amato, et al, 2003). Asumsi ini tidak realistik bagi sebagian besar situasi, baik bagi pembuat kebijakan maupun agen ekonomi, karena transparansi dan prediktabilitas indikator ekonomi sangat rentan terhadap elemen kejutan (Syrichas, Karamanou, 2004).

Komunikasi pada masa kerentanan ekonomi lebih ditujukan untuk mengembalikan kepercayaan antar agen dalam pasar. Komunikasi ini juga mengindikasikan bahwa otoritas moneter menangkap tanda bahaya dan siap bertindak secara tepat, cepat dan efektif, sejalan dengan tujuan yang diemban yaitu menstabilkan harga dan menjaga kondisi finansial.

Masalah ketiga adalah jalur kebijakan suku bunga selama ini cenderung tidak disampaikan secara ekplisit karena berbagai pertimbangan. Seperti diungkapkan sebelumnya, pada umumnya bank sentral (termasuk BI) lebih suka hanya sekedar berbicara menengenai outlook ekonomi dibandingkan dengan mendiskusikan jalur kebijakan (dalam hal ini suku bunga) yang dipilih. Publikasi yang ditampilkan BI juga terlihat lebih fokus pada penetapan indikator ekonomi makro saat ini dan prediksi numerik untuk kuartal atau tahun yang akan datang. Sebagian besar komunikasi oleh BI bersifat kuantitatif namun tidak didukung dengan pemaparan kualitatif yang mampu menjawab mengapa angka inflasi tersebut muncul, dengan metode apa suku bunga ditetapkan, berapa besar penyesuaian yang perlu dilakukan bila terjadi kejutan ekonomi yang bersifat eksternal dan lain sebagainya. BI relatif jarang mengumumkan bias dari keputusan target. Padahal bias dari target merupakan hal penting karena memberikan indikasi kualitatif risiko yang muncul dari outlook ekonomi (Amato et al, 2003).

Mungkin akan lebih bermanfaat bila BI bersedia melakukan komunikasi jalur kebijakan secara eksplisit, maka akan memberikan beberapa keuntungan. Keuntungan pertama adalah naiknya transparansi kebijakan moneter karena terdapat kesempatan yang lebih baik untuk mencapai target inflasi tanpa seringkali melakukan perubahan yang berlebihan pada variabel kunci. Keuntungan kedua adalah membantu menunjukkan komitmen pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Misalnya, jika pembuat kebijakan mengumumkan komitmen untuk mencapai tingkat inflasi yang rendah, maka komitmen ini akan menjadi lebih kredibel jika pembuat kebijakan secara simultan mengumumkan jalur kebijakan yang mereka harapkan untuk mencapai tujuan inflasi. Terakhir, pengumuman akan menolong pelaku pasar finansial untuk menetapkan harga aset secara lebih efisien.