Thursday, January 31, 2008

TIDAK SEKEDAR PRO-POOR, PRO-JOB, DAN PRO-GROWTH 2

lanjutan... potongan..

Sinergi : Tantangan Pokok Gubernur Jawa Tengah
Tantangan ke depan implementasi arah pokok kebijakan kemiskinan Jawa Tengah yang pro-poor, pro-job dan pro-growth perlu didukung dengan hal-hal berikut.

1. Bila melihat hasil penurunan kemiskinan yang menggemb irakan, maka konsep BHN (basic human needs) tetap perlu dipertahankan dan merupakan prioritas utama. Penyediaan kebutuhan dasar bagi kaum miskin tetap perlu dilakukan namun dengan titik berat pada fasilitasi pendidikan dan kesahatan murah, karena jebakan kemiskinan tetap akan ada, selama faktor endowmentnya tetap rendah. Tingkat pendidikan yang buruk akan mempersulit kaum miskin pada generasi yang akan datang untuk masuk ke dunia kerja.

2. Langkah berikutnya adalah mendorong implementasi RWG (redistribution with growth) secara lebih cepat. Akselerasi program-program penyediaan kesempatan kerja perlu dilakukan, karena bagaimanapun Jawa Tengah juga berpacu dengan provinsi-provinsi lain di sekitarnya. Dengan memperhatikan hasil prediksi ke depan, investasi dan pengembangan usaha perlu difokuskan pada sektor-sektor yang masuk dalam kategori potensial untuk berkembang dan maju dan berkembang pesat. Pemilihan sektor tetap perlu memperhatikan sisi kemampuan penyerapan tenaga kerja.

3. Untuk membuat kesempatan kerja yang dibuka bagi kaum miskin menjadi berkelanjutan maka strategi appropriate technology dan empowerment saja tidak cukup, karena (i) strategi appropriate technology cenderung menciptakan kondisi small is beatiful yang pada akhirnya tidak mampu mengatasi masalah secara berkelanjutan, sedangkan (ii) strategi empowerment kadang juga tidak berhasil karena lebih didasarkan pada sumberdaya pribadi yang partisipatif dan melalui learning process yang mungkin memakan waktu lama. Jadi solusinya jangan hanya memberikan teknologi sederhana yang tidak disertai dengan kemungkinan pengembangannya, dan jangan membiarkan kaum miskin tersebut memberdayakan dirinya sendiri tanpa pendampingan.


4. Peran pemerintah menjadi semakin besar karena pengentasan kemiskinan membutuhkan sinergi antara promoting opportunity, facilitating empowerment, dan enhancing security. Terkait dengan hal ini maka diperlukan lembaga pemerintah yang lebih akuntabel dan responsif terhadap kaum miskin. Peran lembaga pemerintah tidak saja dalam bentuk intervensi ketika melakukan stimulus pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme pasar dan non pasar, namun juga untuk memperkuat partisipasi kaum miskin dalam proses pengambilan keputusan, dan menyediakan fasilitas agar tercipta daya tahan yang lebih baik. Misalnya pemberdayaan organisasi-organisasi kecil yang biasanya muncul pada pusat-pusat aktivitas ekonomi usaha kecil dan mikro. Keberadaan mereka perlu dimanfaatkan dan dilibatkan secara lebih optimal oleh pemerintah.

5. Menumbuhkan kearifan lokal. Hal terakhir ini terkait dengan kasus kenaikan harga minyak dunia, yang merembet ke kenaikan harga lain, termasuk kedelai. Permasalahannya adalah ketergantungan pada produk impor yang besar, telah tersistematisasi sampai level usaha kecil dan mikro. Beban dari shock harga pada akhirnya akan semakin memperburuk kondisi kaum miskin. Pemerintah perlu lebih sering dan lebih kuat untuk mendengungkan semangat mencintai input dan produk lokal, merubah paradigma mengenai kualitas produk impor dan membuka kesempatan kerja di sektor pertanian yang unggul (karena sektor ini di Jawa Tengah masih potensial)

6. Program kembali ke desa. Arus urbanisasi merupakan salah satu masalah utama kemiskinan kota. Dari data yang ada terlihat bahwa kaum miskin kota cenderung lebih miskin dibandingkan dengan kaum miskin desa. Maka semangat untuk kembali ke desa dapat merupakan alternatif pengurangan kemiskinan. Tentu saja konsekuensinya adalah peran sinergis dari pemerintah harus lebih fokus ke pengembangan pedesaan.

(diambil dari bahan diskusi dengan Kompas Jateng, 23 Januari 2008. diakhir diskus yang muncul adalah... wah ika pro Pak Bibit Waluyo dong, dengan program kembali ke desa.... padahal..... pak Bibit tuh sapa aku ga kenal je.... hehehhe)

TIDAK SEKEDAR PRO-POOR, PRO-JOB, DAN PRO-GROWTH 1

Tidak ada faktor tunggal yang bertanggung jawab terhadap keadaan keterbelakangan dan juga tidak ada kebijakan atau strategi tunggal yang dapat menggerakkan berbagai proses yang kompleks dalam pembangunan ekonomi (Gillis et.al, 1996)

Bagi banyak pihak, kemiskinan merupakan isu paling seksi. Isu ini dapat diangkat dari segala ranah, baik pemikiran ekonomi, antropologi maupun politis. Keseksian isu kemiskinan dimulai dari kerentanan definisi kemiskinan yang dipakai, kemudian berlanjut pada hal teknis yang terkait dengan cara pementaan penduduk miskin (yang diturunkan dari definisi tadi), berikutnya menyangkut masalah perencanaan, implementasi dan pengawasan program intervensi dan berakhir pada pengukuran efektivitas program secara empiris.
Di luar kontroversi yang melekat dalam isu kemiskinan, kemiskinan sudah menjadi menjadi isu tidak hanya ditingkat regional namun juga internasional, sejajar dengan isu-isu lain seperti ketidakmerataan antar golongan dan disparitas regional. Keberpihakan pada isu-isu tersebut terlihat juga dalam rumusan Millenium Development Goals. Dalam laporan MGDs tahun 2004 terlihat bahwa Indonesia berkomitmen untuk mengurangi tingkat kemiskinan dari 18,2% pada tahun 2002 menjadi 7,5% pada tahun 2015. Komitmen ini haruslah direspon pula pada tingkat provinsi, termasuk Jawa Tengah, dengan merumuskan langkah pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan (PMPK) yang tidak sekedar pro-poor, pro-job, dan pro-growth, namun memiliki pula sinergi dan kearifan lokal.

peta miskin jateng

Jumlah penduduk Jawa Tengah kategori miskin pada tahun 2005 dan 2007, menunjukkan peningkatan yang relatif kecil yaitu 0,34%. Secara umum, pertambahan tingkat kemiskinan ini lebih tinggi terjadi di wilayah perkotaan dibanding wilayah pedesaan. Untuk wilayah Jawa Tengah, pertambahan penduduk miskin di wilayah perkotaan antara tahun 2005-2007 sebesar 16,12% sedangkan di wilayah pedesaan tercatat sebesar 5,46%. Peningkatan jumlah penduduk miskin yang lebih besar di wilayah perkotaan, terutama disebabkan oleh arus urbanisasi masyarakat dari desa ke kota, tanpa bekal ketrampilan yang memadai. Sehingga masyarakat pelaku urbanisasi tersebut bekerja di sektor informal tanpa penghasilan yang memadai. Secara prosentase terhadap total penduduk, jumlah warga miskin di Jawa Tengah berdasarkan survey BPS tahun 2007 mencapai 20, 43% dari total penduduk, sedikit mengalami penurunan dibandingkan posisi tahun 2005 yang mencapai 20, 49% dari total jumlah penduduk.
Penurunan kemiskinan ini secara umum disebabkan oleh naiknya daya beli masyarakat, namun bila mengingat semakin tidak menentunya ekonomi global dewasa ini, maka bukanlah saat yang tepat untuk berpuas diri.
Selain tingkat kemiskinan, jumlah pengangguran juga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan suatu wilayah. Berdasarkan hasil Sakernas 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik, dari 24,9 juta penduduk usia kerja di wilayah Jawa Tengah, 17,74 juta jiwa digolongkan sebagai angkatan kerja dan 7,17 juta jiwa tidak termasuk angkatan kerja. Tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan dari tahun 2005 sebesar 8,51% menjadi 9,10% di tahun 2007.

(diambil dari paper diskusiku dengan Kompas Jateng, 23 Januari 2008)

telaah ekonomi ringan, crunchy, tapi nalar

malem-malem aku di sms temen kuliahku. mbak kun namanya...
smsnya berbunyi:
Kun : Ka... emang ga ada edukasi ekonomi yang mudah ya?
Ika : maksud lo....
Kun : kuwi lo ka... liatlah metro. gak ngerti aku apa yang diceritain tentang ekonomi kita dan efeknya dari bakal resesi di Amerika.
Ika : Lhah mbak, kalo kamu yang mahasiswa S3 aja bingung, lha pie yang liyane???? atau kamu emang dulu salah seleksi kaleeee...
Kun : aseeeemmmmm kowe...

tapi kupikir-pikir bicara ke publik, menjadi pembicara yang berisi namun populer ga mudah. hanya itungan jari mungkin di Indonesia yang bener-bener bisa memberikan edukasi ekonomi secara ringan tapi ilmiah.
karena apa. kebanyakan ketika sebagian selebritis ekonomi muncul, maka mereka memilih menjadi populis sejati. yang kadang nalar ekonominya menjadi ilang. memberikan angka-angka prediksi yang bombastis, namun tidak disertai dengan penjelasan metodenya sehingga ga tau angka itu berasal dari mana

aku sendiri, belum masuk ke ranah itu.... bahkan puluhan kali tulisanku ditolak media.... terlalu teoritis dan ilmiah.
ga mudah memang bikin sesuatu yang crunchy tapi tetep nalar
minggu lalu, aku dapat kesempatan indah sih.

talk show di Trijaya Jogja dan Eltira Jogja.
bukan karena hebat sih. kebetulan aja... karena sang "SUHU" udah males kalo levelnya cuman radio
tapi ya... itu kan proses belajarku sebetulnya
dan ketika pada minggu yang lain aku diminta jadi pembicara diskusi internal di Kompas Jateng... wah aku kadang berpikir, sudah saatnyakah aku mulai belajar untuk lebih populis????

(aku jadi ingat salah satu senior yang kemarin ketemu di Kompas Jateng, Ka kalo mau cepet ngetop harus radikal dan kontroversial kalo nulis dan bicara.... walahhhhhh!!!! mana aku bisa????... kan aku bukan penjahat... hehehhe... any ideas????, ada yang berminat mengajari aku menulis secara populer???)