Thursday, January 31, 2008

TIDAK SEKEDAR PRO-POOR, PRO-JOB, DAN PRO-GROWTH 1

Tidak ada faktor tunggal yang bertanggung jawab terhadap keadaan keterbelakangan dan juga tidak ada kebijakan atau strategi tunggal yang dapat menggerakkan berbagai proses yang kompleks dalam pembangunan ekonomi (Gillis et.al, 1996)

Bagi banyak pihak, kemiskinan merupakan isu paling seksi. Isu ini dapat diangkat dari segala ranah, baik pemikiran ekonomi, antropologi maupun politis. Keseksian isu kemiskinan dimulai dari kerentanan definisi kemiskinan yang dipakai, kemudian berlanjut pada hal teknis yang terkait dengan cara pementaan penduduk miskin (yang diturunkan dari definisi tadi), berikutnya menyangkut masalah perencanaan, implementasi dan pengawasan program intervensi dan berakhir pada pengukuran efektivitas program secara empiris.
Di luar kontroversi yang melekat dalam isu kemiskinan, kemiskinan sudah menjadi menjadi isu tidak hanya ditingkat regional namun juga internasional, sejajar dengan isu-isu lain seperti ketidakmerataan antar golongan dan disparitas regional. Keberpihakan pada isu-isu tersebut terlihat juga dalam rumusan Millenium Development Goals. Dalam laporan MGDs tahun 2004 terlihat bahwa Indonesia berkomitmen untuk mengurangi tingkat kemiskinan dari 18,2% pada tahun 2002 menjadi 7,5% pada tahun 2015. Komitmen ini haruslah direspon pula pada tingkat provinsi, termasuk Jawa Tengah, dengan merumuskan langkah pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan (PMPK) yang tidak sekedar pro-poor, pro-job, dan pro-growth, namun memiliki pula sinergi dan kearifan lokal.

peta miskin jateng

Jumlah penduduk Jawa Tengah kategori miskin pada tahun 2005 dan 2007, menunjukkan peningkatan yang relatif kecil yaitu 0,34%. Secara umum, pertambahan tingkat kemiskinan ini lebih tinggi terjadi di wilayah perkotaan dibanding wilayah pedesaan. Untuk wilayah Jawa Tengah, pertambahan penduduk miskin di wilayah perkotaan antara tahun 2005-2007 sebesar 16,12% sedangkan di wilayah pedesaan tercatat sebesar 5,46%. Peningkatan jumlah penduduk miskin yang lebih besar di wilayah perkotaan, terutama disebabkan oleh arus urbanisasi masyarakat dari desa ke kota, tanpa bekal ketrampilan yang memadai. Sehingga masyarakat pelaku urbanisasi tersebut bekerja di sektor informal tanpa penghasilan yang memadai. Secara prosentase terhadap total penduduk, jumlah warga miskin di Jawa Tengah berdasarkan survey BPS tahun 2007 mencapai 20, 43% dari total penduduk, sedikit mengalami penurunan dibandingkan posisi tahun 2005 yang mencapai 20, 49% dari total jumlah penduduk.
Penurunan kemiskinan ini secara umum disebabkan oleh naiknya daya beli masyarakat, namun bila mengingat semakin tidak menentunya ekonomi global dewasa ini, maka bukanlah saat yang tepat untuk berpuas diri.
Selain tingkat kemiskinan, jumlah pengangguran juga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan suatu wilayah. Berdasarkan hasil Sakernas 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik, dari 24,9 juta penduduk usia kerja di wilayah Jawa Tengah, 17,74 juta jiwa digolongkan sebagai angkatan kerja dan 7,17 juta jiwa tidak termasuk angkatan kerja. Tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan dari tahun 2005 sebesar 8,51% menjadi 9,10% di tahun 2007.

(diambil dari paper diskusiku dengan Kompas Jateng, 23 Januari 2008)

No comments: