Pentingnya kepastian nilai tukar dalam perekonomian global menyebabkan kebutuhan intergrasi ekonomi tidak lagi hanya berupa integrasi perdagangan namun berkembang menjadi integrasi keuangan. Integrasi keuangan secara penuh terjadi pada saat masing-masing negara dalam kawasan tersebut telah menghadapi kebijakan yang sama dalam keuangan (single set of rules), di mana investor dan penerbit aset keuangan mempunyai akses yang sama terhadap pasar keuangan (equal access) dan diperlakukan secara sama (treated equally) ketika beroperasi di sektor keuangan (Baele et al. 2004). Integrasi keuangan merupakan suatu upaya mengurangi dan menghapus hambatan arus keuangan antar negara di sebuah kawasan. Integrasi keuangan ini juga membutuhkan pengembangan infrastruktur keuangan regional untuk mendukung kelancaran dan meningkatkan transaksi keuangan lintas batas serta memelihara kestabilan keuangan dan nilai tukar di kawasan. Dalam jangka panjang integrasi keuangan dapat menuju kepada penyatuan dan integrasi moneter regional. Penyatuan mata uang berarti penghapusan rintangan untuk melakukan bisnis pada pasar yang besar, sehingga perdagangan dan investasi lintas negara akan meningkat. Pada tahap selanjutnya kondisi ini akan mendorong tingkat kompetisi industri dan pasar. Kompetisi bisnis akan membawa dampak yang baik karena akan memberikan oportunitas untuk mengembangkan bisnis, dan baiki industri yang lemah, akan berusaha bekerja lebih keras untuk beradaptasi terhadap bisnis global.
Integrasi keuangan dalam definisi Krugman dan Obstfeld (2000) disebut sebagai Optimum Currency Area (OCA). OCA merupakan sebuah kelompok negara-negara dalam suatu kawasan yang perekonomiannya terkait erat, terutama karena faktor perdagangan dan mobilitas faktor produksi, yang menetapkan suatu nilai tukar tetap dan diantara negara-negara anggota dan ditandai dengan pembentukan mata uang tunggal. OCA dapat terbentuk dengan syarat berikut.
1. Interdependensi perdagangan. Interdependensi perdagangan perlu karena keseragaman nilai mata uang akan menghemat biaya transaksi dan mengurangi risiko yang berkaitan dengan penggunaan mata uang yang berbeda
2. Respon terhadap kejutan bersifat simetris. Negara-negara dengan respon terhadap kejutan yang simetris memungkinkan untuk mengambil kebijakan moneter yang sama. Determinan dari kejutan yang simetris ini adalah tingkat industri atau diversifikasi produk (Shin dan Wang ,2002)
3. Mobilitas faktor produksi. Adanya mobilitas faktor produksi diantara negara-negara anggota akan dapat meredam kejutan di dalam negeri tanpa menimbulkan biaya penyesuaian yang tinggi.
4. Konvergensi kebijakan makroekonomi. Apabila tidak ada konvergensi dalam kebijakan ekonomi, maka negara-negara dalam kawasan tersebut akan menghasilkan respon kebijakan yang mungkin saling bertolak belakang.
Secara empiris, tidak semua integrasi ekonomi mampu menghasilkan integrasi keuangan yang sukses. Berdasarkan best practice yang dilakukan oleh Uni Eropa, maka salah satu alasan digunakannya Economic and Monetary Union (EMU) adalah untuk medorong keterbukaan ekonomi yang lebih besar dan stabilitas nilai tukar yang lebih tinggi di kalangan negara anggota. Risiko mata uang yang mengakibatkan menurunnya perdagangan memotivasi penyatuan mata uang di Eropa (EU Commission, 1990) dan secara kuat berhubungan dengan intervensi pasar uang oleh bank sentral (Bayoumi and Eichengreen 1998). Inggris berminat masuk ke EMU karena tindakan ini akan berdampak pada sektor bisnis, dan pada akhirnya akan memperbaiki kinerja industri Inggris secara keseluruhan. Bergabungnya Inggris ke EMU juga memiliki implikasi makroekonomi yang penting bagi industri Inggris. Hilangnya kebijakan moneter yang independen dan fleksibilitas nilai tukar nominal akan secara fundamental merubah perekonomian dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan ekonomi dan kejutan ekonomi yang tidak diinginkan. Sebagian besar penyesuaian ini akan terjadi melalui perubahan kondisi industri. Analisis mengenai bagaimana mata uang tunggal memiliki efek terhadap kondisi penawaran terlihat pada sektor bisnis Inggris yaitu (EU Commission, 1990)
1. Efek langsung adalah hilangnya biaya konversi mata uang, menurunnya volatilitas mata uang di kawasan Eropa, transparansi harga yang lebih tinggi
2. Efek jangka pendek dan menengah adalah menaikkan perdagangan, investasi dan perubahan mekanisme penyesuaian ekonomi
3. Efek jangka panjang adalah EMU mendorong kompetisi dan mempengaruhi tren dalam konsentrasi dan spesialisasi.
Penyatuan mata uang Euro melalui proses sepakat dan kontra terhadap stabilisasi nilai tukar. Namun setelah krisis Asia muncul argumentasi yang kuat bahwa ketika suatu negara menganut rejim nilai tukar yang fleksibel maka negara-negara tersebut perlu melakukan stabilisasi nilai tukar. Argumentasi teori menunjukkan bahwa nilai tukar yang fleksibel menyebabkan nilai tukar lebih mudah menyesuaikan kejutan asimetrik pada suatu perekonomian, sedangkan dari perspektif ekonomi mikro, volatilitas nilai tukar yang rendah berhubungan dengan biaya transaksi perdangangan internasional dan aliran modal yang rendah yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Adanya mata uang tunggal juga memberi manfaat semacam rejim nilai tukar tetap dan akan menghindarkan negara dari fenomena depresiasi “beggar-thy-neighbour” dalam integrasi ekonomi
(apakah Indonesia siap berintegrasi keuangan di ASEAN, bahasan berikutnya ya... btw tulisan ini adalah bagian dari paper yang akan dipresentasikan di Widya Mandala Surabaya, 4 September mendatang)
Thursday, August 23, 2007
EPA Japan Indonesia
benarkah EPA Jepang Indonesia cukup menguntungkan? dimana posisi Indonesia dalam kerjasama ini? sedikit tulisan mengenai kondisi trade Indonesia Jepang (tulisan kecil ini bagian dari tulisan yang sedang di proses dalam sebuah jurnal di Jepang)
Although Indonesia-Japan trade increased, the export-import share was apt to decrease. After 1998, export value to Japan was around 15.99%-23.30% of export total value. This proportion was smaller than many periods before. The same condition happened in import proportion. After crisis in 1999, Indonesia import proportion from Japan was around 8.91%-16.10%. The condition showed that Japan was not the main destination and source of trade for Indonesia. The borderless trade and regional trade agreement encouraged Indonesia to open its trade broadly.
The structure of Indonesia-Japan bilateral trade was an exporter of primary commodities and importer of industrial, capital goods and machinery inputs. This condition did not always give some benefits to Indonesia due to characteristics of primary commodities were unpreserved, low price-low value added, and depend on season. On the contrary, machinery inputs usually have a higher price as result of technologies attached. The ten highest import products in 2005 were road vehicles (18.23%), iron and steel (13.08%), general industrial machinery (11.78%), machinery specialized for particular industries (10.46%), power generating machinery (9.22%), electric machinery (5.21%), metalworking machinery (4.57%), organic chemicals (4.02%), artificial resins and plastics materials (3.49%), manufactures of metal (3.26%) and others (16.68%)
Primary products like mining, forestry, and fish dominated Indonesian export to Japan. The disadvantages of primary product export were relatively cheap price, so the import value would be low, seasonal dependency for agricultural products, and continuity resources for mining-based products. The mining export commodities in 2005 were gas and natural manufactured (28.58%), petroleum and petroleum products (18.53%), metalliferous ores and metal scrub (10.59%), coal, cokes and briquettes (5.98%) and non-ferrous metals (2.51%). The agriculture export products were cork and woods (4.51%) and fish, crustaceans and mollusks (2.51%). The rest of ten highest export commodities were industrial outputs like electrics machinery, office machines and automatic data processing equipments and textiles yarn, fabrics and related products.
The robust export performance of manufacturing, combined with growth in manufacturing imports, confirmed that Indonesia tried to peruse an outward-oriented industrialization strategy helped by trade liberalization and strategic industry policy.
The linkage between the import of intermediate goods and changes in export structure supports argument that: (a) import of intermediate inputs and capital goods are the major determinant of the changes in the export structure; and (b) trade liberalization measures improve firms ability to import the technology and intermediate inputs needed to adapt to changing global demand patterns. Based on structure of Indonesia-Japan trade, Indonesia ought to develop manufactured export to Japan due to find a greater value added from international trade.
Although Indonesia-Japan trade increased, the export-import share was apt to decrease. After 1998, export value to Japan was around 15.99%-23.30% of export total value. This proportion was smaller than many periods before. The same condition happened in import proportion. After crisis in 1999, Indonesia import proportion from Japan was around 8.91%-16.10%. The condition showed that Japan was not the main destination and source of trade for Indonesia. The borderless trade and regional trade agreement encouraged Indonesia to open its trade broadly.
The structure of Indonesia-Japan bilateral trade was an exporter of primary commodities and importer of industrial, capital goods and machinery inputs. This condition did not always give some benefits to Indonesia due to characteristics of primary commodities were unpreserved, low price-low value added, and depend on season. On the contrary, machinery inputs usually have a higher price as result of technologies attached. The ten highest import products in 2005 were road vehicles (18.23%), iron and steel (13.08%), general industrial machinery (11.78%), machinery specialized for particular industries (10.46%), power generating machinery (9.22%), electric machinery (5.21%), metalworking machinery (4.57%), organic chemicals (4.02%), artificial resins and plastics materials (3.49%), manufactures of metal (3.26%) and others (16.68%)
Primary products like mining, forestry, and fish dominated Indonesian export to Japan. The disadvantages of primary product export were relatively cheap price, so the import value would be low, seasonal dependency for agricultural products, and continuity resources for mining-based products. The mining export commodities in 2005 were gas and natural manufactured (28.58%), petroleum and petroleum products (18.53%), metalliferous ores and metal scrub (10.59%), coal, cokes and briquettes (5.98%) and non-ferrous metals (2.51%). The agriculture export products were cork and woods (4.51%) and fish, crustaceans and mollusks (2.51%). The rest of ten highest export commodities were industrial outputs like electrics machinery, office machines and automatic data processing equipments and textiles yarn, fabrics and related products.
The robust export performance of manufacturing, combined with growth in manufacturing imports, confirmed that Indonesia tried to peruse an outward-oriented industrialization strategy helped by trade liberalization and strategic industry policy.
The linkage between the import of intermediate goods and changes in export structure supports argument that: (a) import of intermediate inputs and capital goods are the major determinant of the changes in the export structure; and (b) trade liberalization measures improve firms ability to import the technology and intermediate inputs needed to adapt to changing global demand patterns. Based on structure of Indonesia-Japan trade, Indonesia ought to develop manufactured export to Japan due to find a greater value added from international trade.
Subscribe to:
Posts (Atom)