Friday, September 7, 2007

call for papers : aktualisasi, gengsi, atau dolan???

aku termasuk salah satu pehobi ngikut call for paper,
ngikut nyari dana riset di berbagai lembaga
ya kan bu guru.... harus agak rajin lah kalo ga mau dikomentari cuman bisa ngajar doang
karena konon katanya, akademisi itu ya harus terlihat dari apa yang ditulis
walau lebih kerep gagalnya, maksudku terutama kalo ngirim yang bangsa eadn, gdn, dan lain2, itu belum mampu bersaing je, ya walau masih alhamdulillah, untuk yang dalam negeri yang masih lebih banyak katutnya...

tapi kemarin....
gubrak.... !!!!#@$%^&&*^%$#
habis dari ikut National Conference FE di Surabaya
aku jadi agak merenung lebih dalam...
dan mungkin ini juga akan menjadi cermin bagi diriku sendiri

 
yang ikut lumayan banyak, ada lebih dari 40 presenter
tapi sebetulnya aku tidak terlalu bangga sih ketika terseleksi masuk,
karena yang ditolak jauuuuuhhh lebih sedikit dari yang diterima...
dan yang bikin aku kemarin tambah ga bangga, adalah ketika masuk ke kelas economics... (kelas dibagi paralel)
peserta yang didalam benar2 hanya yang presentasi.. jadi ya just 8 oranganlah
yang masuk sesi berikutnya banyak juga yang ga ada
beberapa peserta tampak tidak mempersiapkan diri dengan baik, ppt tidak ada, padahal peserta hanya dapat cd makalah..
(sebetulnya aku pun gitu, paper model hanya diselesaikan dalam waktu 1 minggu, aku tau ga akan optimal)
lha pie akan terjadi interaksi??
terus ada yang dengan terus terang ngomong... wah ini memang ga sempurna. karena panitia minta nulis, karena kurang peserta. kebetulan dia dosen universitas itu sendiri

 
dari hal2 kecil itu aku berpikir
kenapa sebetulnya aku suka ikut cfp?
apakah ini berada dalam tataran yang disebut maslow sebagai self actualisation?
(kalo pada kebutuhan materi jelas enggaklah, lha wong unika tempatku kerja lumayan "efisien", sehingga ga pernah disangoni, dan cfp sendiri ga pernah ada honornya)
aku tahu jawabanku adalah ya...
karena aku selalu bilang pada atiku... ga ada gunya jadi doktor, bila kamu hanya lulus dengan nilai A, tanpa orang tahu siapa kamu.. tanpa pemikiranmu dipakai orang lain
tapi ketika kita akan beraktualisasi diri, ternyata ada tingkatan lagi yang harus dilalui


tapi kalo sekarang banyak cfp yang hanya menjadi ajang orang untuk beraktualisasi diri, dan bukan pikir... bagiku tidak lagi menarik
hal ini hanya mendorong orang mencari gengsi... namanya tertulis jadi salah satu pembicara
aku jadi ingat perbincangan dengan temen dari Sadhar.. mereka bilang.. "wah kudune kamu udah ga di sini...."
gayanya uisss... seminar nasional... tapi sebetulnya cuman pingin refreshing...
bener juga ya...

beraktualisasi tidak gampang
dan seharusnya aku tidak hanya ngedumel ga jelas gini
tapi harus mencari tantangan yang lebih dahsyat
kalo kemarin belum tembus
gdn, ya harusnya tahun ini bisa
kalo kemarin
eadn hanya sampai ke sekian besar, ya harusnya aku mulai berpikir yang aneh, yang unik, yang distingtif, sehingga ga ordinary

CFP bukan lagi sekedar gengsi atau refreshing... ini harus benar-benar jadi
aktualisasi pikir... bukan diri semata












Wednesday, September 5, 2007

AFTA to AEC: simetriskah?

Reaksi simetris terhadap suatu kejutan (shock) akan menentukan sejauh mana kemudahan dan kecepatan suatu kawasan menuju konvergensi ekonomi karena menentukan biaya ekonomi yang timbul dalam rangka penyesuaian ekonomi.

Bagaimana Indonesia dalam menghadapi AEC?
apakah kita cukup "setara" dibandingkan dengan negara lain?

ini perlu diamati, karena perkembangan terakhir kerjasama ASEAN adalah berupa pembentukan ASEAN Economic Community (AEC).
Visi ini lebih dipertegas dalam KKT ASEAN Oktober 2003 di Bali dalam Deklarasi ASEAN Concord II (Bali Concord II) yang menyatakan pembentukan komunitas ASEAN yang tediri dari 3 hal utama, yaitu ASEAN Economic Community, ASEAN Security Community dan ASEAN Socio-Cultural Community. AEC merupakan realisasi dari aspirasi ASEAN sebagai kawasan yang stabil, makmur, mempunyai daya kompetitif yang tinggi. AEC akan berfungsi sebagai pasar tunggal dan wilayah basis produksi pada tahun 2020. Program yang ditujukan di AEC tidak saja meliputi kebebasan aliran barang, tenaga kerja, aliran modal, namun juga untuk mengurangi kemiskinan serta kesenjangan sosial ekonomi.
Untuk menfasilitasi pencapaian AEC sesuai dengan target maka dilakukan Pertemuan tingkat menteri keuangan ASEAN (AFMM) ke 7 Agustus 2003 di Makati City Filipina menyepati Roadmap integrasi ASEAN (RIA) bidang finansial (RIA-Fin) yang meliputi 4 sektor, yaitu,
1. pengembangan pasar modal
2. liberalisasi neraca modal
3. liberalisasi jasa keuangan
4. kerja sama nilai tukar

beberapa kondisi Indonesia yang mungkin bisa jadi indikator

Posisi nilai tukar Rupiah bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN 5, memang cenderung lebih rendah. Pada masa krisis ekonomi (1997.3-1999.4), rata-rata nilai tukar Rupiah terhadap Singapura$ sebesar Rp 4.815,84 dan maksimumnya mencapia Rp 8.729,29, sedangkan dengan Thailand dan Philipina relatif rendah, meskipun untuk 1 Bath dan 1 Peso, Rupiah yang harus ditukarkan sebesar Rp 205,27 dan Rp 202,19. Kondisi 6 tahun terakhir ini secara rata-rata tidak menunjukkan perbaikan kinerja nilai tukar Rupiah. Depresiasi tetap terjadi sehingga rata-rata nilai tukar Rupiah terhadap Sin$ adalah Rp 5.414,59, terhadap ringgit sebesar Rp 2.454,28, terhadap Peso dan Bath masing-masing Rp 253,07 dan Rp 225,68. Bila dibandingkan dengan periode sebelum sistem nilai tukar dilepas, maka terlihat bahwa nilai tukar rata-rata saat ini jauh lebih buruk dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh intervensi Bank Indonesia terhadap stabilitas kurs sangat besar, sehingga ketika Bank Indonesia tidak lagi boleh melakukan intervensi, harga Rupiah hanya disangga oleh kinerja ekspor dan impor. Depresiasi sangat mungkin terjadi karena ekspor Indonesia relatif kurang kompetitif, dan ketergantungan Indonesia terhadap impor barang antara masih sangat besar. Nilai tukar Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, juga relatif tidak menggembirakan.

Dari sisi volatilitas rupiah terhadap mata uang asing terlihat bahwa pada periode 2000.1-2006.4 volatilitas Rupiah dibawah 4%, namun nilai maksimumnya di atas 10%. Hal ini menunjukkan bahwa pada periode setelah krisis ekonomi Rupiah masih memiliki risiko yang relatif tinggi, dan bergerak secara fluktuatif. Kalo dibandingkan dengan kondisi pada masa krisis memang terlihat bahwa Bank Indonesia mampu menstabilkan nilai Rupiah dengan baik, karena selama periode krisis volatilitas Rupiah sangat tinggi. Namun bila dibandingkan dengan periode 1990-1997, dimana rejim nilai tukar yang digunakan adalah nilai tukar mengambang terkendali, maka terlihat bahwa perubahan rejim nilai tukar mendorong fluktuasi Rupiah yang jauh lebih besar. Kondisi ini sesuai dengan teori, karena pada saat nilai tukar fleksibel, maka stabilitas nilai tukar itu akan sangat bergantung pada perilaku permintaan dan penawaran valuta asing. Pada periode sebelum tahun 1990 terlihat volatilitas rupiah yang cenderung lebih tinggi dibanding dengan periode 1990-1997, karena pada saat itu terjadi tekanan terhadap BOP, dan adanya liberalisasi perbankan yang menekan nilai rupiah.

indikator perdagangan, terdapat kesenjangan yang cukup besar antara ASEAN 5 dan negara ASEAN lainnya. Angka inflasi pun menunjukkan karakter yang sangat berbeda satu dengan yang lain. Inflasi singapura dan Brunei mampu ditekan sangat rendah sampai di bawah 2%, sedangkan inflasi Indonesia masih cukup tinggi, demikian pula dengan inflasi Myanmar yang sangat tinggi. Kondisi ini menunjukkan kebijakan moneter yang digunakan untuk menstabilkan inflasi tidak memiliki efektivitas yang sama



jadi?? cukup simetriskah kita???

(btw...aku pingin banget bisa upload tabel dan grafis.. udah aku coba pakai jpeg,gif, bmp, gagal terus, jadinya kecil banget ga terbaca... siapa mau bantu aku???)