Friday, June 13, 2008

INFLASI TRANSPORTASI: SEKEDAR FENOMENA PERMUKAAN

Kenaikan harga BBM pada 24 Mei 2008 sebesar 28,7 persen sampai saat ini masih mendapat reaksi keras dari masyarakat padahal kenaikan ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan pada Oktober 2005 yang mencapai 114 persen. Kemarin, Senin, 2 Juni 2008, Organda di Kota Semarang pun sudah berekasi dengan turun ke jalan. Dalam waktu yang sama, Suara Merdeka, memuat hasil riset Kantor Bank Indonesia Semarang mengenai proyeksi inflasi di Jawa Tengah. Hasil proyeksi yang dilakukan BI sebenarnya tidak cukup mengejutkan, namun juga tidak bisa diabaikan. Tidak mengejutkannya karena laju inflasi yang terjadi merupakan konsekuensi logis dari kenaikan harga BBM. Lalu kenapa tidak boleh didiamkan? Data inflasi yang dikeluarkan oleh BI Semarang kemarin hanya menunjukkan ‘permukaan’ inflasi, padahal komponen inflasi sendiri beragam, dan masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Sehingga menurut saya yang terpenting justru mengetahui bagaimana pola komponen inflasi tersebut, agar dapat dilakukan tindakan antisipatif.

Benarkah hanya berdampak di kelompok transportasi?

Secara sederhana, kenaikan harga BBM akan mendorong terjadinya inflasi yang lebih tinggi. BI Semarang memroyeksikan inflasi IHK tahun 2008 di Jawa Tengah diperkirakan mencapai 9,8 persen - 10,8 persen. Proyeksi ini lebih tinggi dibandingkan target awal inflasi yang ditetapkan yaitu 5,5 persen - 6,5 persen. Inflasi yang diumumkan oleh BI Semarang merupakan proyeksi inflasi pasca kenaikan harga BBM, sehingga kemungkinan besar simulasi dan proyeksi didasarkan pada asumsi kenaikan harga BBM.

Dampak kenaikan harga BBM terhadap kelompok barang sangat tergantung pada komposisi biaya BBM dibandingkan dengan total biaya yang dikeluarkan. Sehingga sangat wajar bila organisasi usaha yang paling banyak ‘berteriak’ mereaksi kenaikan harga BBM ini adalah organisasi yang bergerak di bidang angkutan umum. Angkutan umum merupakan fasilitas publik yang seharusnya menjadi domain pemerintah namun tampaknya lebih banyak diusahakan oleh sektor swasta. Kondisi ini menyebabkan munculnya kesan bahwa pemerintah seakan-akan lepas tanggung jawab dan membiarkan bebannya ditanggung oleh pihak swasta.

Kilas balik ke Oktober 2005, ketika pemerintah menaikkan harga BBM maka terjadi inflasi sebesar 17,43 persen (year on yearyoy - Oktober 2005). Kenaikan harga terbesar pada saat itu terjadi di kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan yang mencapai 39,48 persen, dan sampai dengan Desember 2005, kenaikan harga di kelompok transportasi masih sangat tinggi. Komposisi ini mengalami perubahan yang drastis mulai tahun 2006 sampai ke April 2008. Kelompok transportasi di Jawa Tengah tidak lagi mengalami kenaikan harga yang berarti, bahkan pada April 2008 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 0,03 persen. Trend perubahan harga yang terjadi di kelompok transportasi ini tampaknya juga menyelamatkan inflasi bulanan Jawa Tengah pasca kenaikan BBM. Harapannya adalah lonjakan kenaikan harga angkutan umum tidak terlalu tinggi, dan seharusnya tidak mencapai di atas 2 digit.

Namun apakah benar hanya sektor transportasi yang dihantam? Tentu saja tidak. Kalau menilik data-data yang dikeluarkan oleh BI Semarang dalam Kajian Ekonomi Regional, maka tampak jelas bagaimana perilaku masyarakat ketika terjadi inflasi ‘dadakan’ akibat ulah pemerintah dalam menetapkan harga. Shock harga BBM di tahun 2005 juga mengakibatkan kenaikan harga tinggi di sektor perumahan, makanan jadi, minuman dan bahan makanan. Komposisi ini berubah sejak Desember 2006 sampai 2008. Inflasi (yoy) yang dominan di April 2008 justru terdapat pada kelompok makanan, sandang, pendidikan dan papan.

Pola inflasi Jawa Tengah menunjukkan kecenderungan bahwa shock harga BBM relatif dapat dengan cepat teredam di kelompok transportasi, dan yang kembali mendominasi justru kelompok barang yang bersifat kebutuhan pokok seperti makanan, sandang dan papan, di samping kelompok pendidikan yang memiliki inflasi cukup tinggi sejak 2006.

Kelompok pangan, pendidikan dan papan: perlu perhatian

Tampaknya kelompok kebutuhan dasar harus dipantau benar-benar oleh pemerintah Jawa Tengah, karena bahan pangan memiliki karakteristik harga yang sangat volatil (April 2008 kenaikan harga yoynya mencapai 16,29 persen). Meskipun terjadi surplus beras di Jawa Tengah, namun persoalan pangan tidak sekedar persoalan surplus atau defisit stok bahan pangan. Persoalan pangan juga harus memperhatikan unsur distribusi dan daya beli masyarakat. Sangat ironis rasanya bila masyarakat Jawa Tengah kelaparan di tengah lumbung padi itu sendiri!!

Kenaikan harga di kelompok pendidikan juga harus cukup diwaspadai. Kenaikan harga BBM saat ini sangat dekat dengan penerimaan siswa baru. Pergantian tahun ajaran pastilah membutuhkan buku ajar baru dan peralatan sekolah baru. Tanpa kenaikan BBM saja, pada April 2008 inflasi yoy di kelompok pendidikan telah mencapai 8 persen, lalu bagaimana pasca penaikan harga BBM? Suatu hasil riset (Ikhsan Modjo, 2007) menunjukkan bahwa prosentase biaya BBM pada industri kertas dan produk kertas mencapai 12 persen dari total biaya. Sehingga apabila terdapat kenaikan BBM sebesar ± 30 persen, diperkirakan akan menaikkan harga kertas dan produk kertas sebesar 3,6 persen. Komposisi ini pastilah akan sangat berpengaruh pada sektor pendidikan. Kalau dana BOS yang digulirkan perbulan tetap rata-rata Rp 20.000, maka terdapat kemungkinan dana ini semakin tidak mencukupi. Pemerintah Jawa Tengah diharapkan mampu melakukan tindakan antisipatif, terutama untuk menyelamatkan agenda wajib belajar 9 tahun.

Kelompok barang lain yang harus bersiap-siap adalah sektor properti. Data inflasi yoy April 2008 kelompok perumahan mencapai 6,47 persen. Pasca kenaikan BBM, mungkin akan mengalami kenaikan yang semakin tinggi, karena sektor properti menggunakan bahan baku yang mengkonsumsi BBM paling tinggi (misalnya prosentase biaya BBM di industri besi baja mencapai 11, 9 persen dan industri semen, kaca mencapai 33,7 persen). Kalau harga perumahan akan cenderung melonjak, maka permasalahan kembali muncul untuk lapis masyarakat kelas bawah. Pembelian RSS akan semakin tidak terjangkau, dan mau tidak mau harus ada campur tangan pemerintah didalamnya.

Jangan terkecoh

Melihat pola inflasi Jawa Tengah, pemerintah harus lebih cermat dan jangan sampai terkecoh dengan fenomena yang ada. Inflasi di kelompok transportasi memang lebih instan, namun ternyata lebih bersifat sesaat dan kemudian kembali stabil. Fokus pemerintah harus melebar karena di balik fenomena ini terdapat kelompok yang lebih rentan yang justru tidak boleh terabaikan yaitu kebutuhan dasar masyarakat berupa pangan, papan dan pendidikan. Inilah tantangan sebenarnya bagi pemerintah Jawa Tengah pasca kenaikan harga BBM.

Solo Batik Carnival: Saat yang Tepat Menuju Culturepreneur

Solo Batik Carnival (SBC) yang diselenggarakan pada 13 April 2008 di sepanjang Jalan Slamet Riyadi Solo, tidak saja menunjukkan kegairahan baru dalam dunia batik di Solo, namun juga menjadi trend tekstil dan fashion di Indonesia. Bagaimana tidak? Kalau diamati secara seksama, mulai awal Januari 2008 ini, banyak sekali selebritas tanah air yang dulunya international designer-minded, sekarang wira-wiri menggunakan batik. Mungkin memang kita harus ‘tertampar’ oleh kasus hak paten batik terlebih dahulu sebelum berani bangga atas lokalitas kita. SBC yang besar dan ramai ini, tentunya akan sangat sayang bila hanya lewat begitu saja tanpa memiliki makna bagi bangkitnya industri batik di Jawa (dan bahkan lebih luas lagi di Indonesia, karena batik tidak hanya milik Jawa).

Culturepreneur untuk pengembangan batik

SBC sendiri menunjukkan adanya sinergi yang kuat dan unik antara perajin batik, pelaku ekonomi dan pemerintah. Sinergi ini tentunya menarik dan penting, karena pengembangan industri batik bukanlah hal yang mudah. Industri batik memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan industri lain. Industri batik menjadi unik karena industri ini merupakan perpaduan antara seni, teknologi dan ekonomi. Tidak semua perajin batik mampu memadukan ketiga unsur ini dalam rutinitas produksinya.

Masalah ini lebih dirasakan oleh industri batik yang tidak diproduksi masal namun batik tulis yang diproduksi secara tradisional. Sebagai seniman tradisional yang menorehkan cantingnya berdasarkan feeling dan ragam corak yang mentradisi, perajin batik cenderung bersifat moody. Sifat moody, suatu ciri seniman yang murni seniman dan belum terkontaminasi oleh ekonomisasi seni, membuat karya batik yang dihasilkan tidak ajeg, sehingga sulit untuk memenuhi pesanan dalam jumlah besar dan kontinyu. Padahal tuntutan pasar dewasa ini (terutama pasar ekspor) adalah disain batik yang unik, tidak ‘pasaran’, serta mampu mempertahankan pasokannya.

Menurut Moxey dan Studd (2000), industri yang berbasis seni seperti batik, harus selalu mengembangkan produk baru. Pengembangan disain produk ini tidak mudah. Kesulitan yang melekat pada disain produk seni adalah mendefinisikan keinginan pelanggan dan penciptaan disain yang mampu menjadi trend pada masa yang akan datang. Motif baru batik dapat didorong dengan pelibatan institusi pendidikan seni dalam bentuk lomba disain atau pembuatan motif baru, sehingga ketika melihat motif tertentu dalam batik, pelanggan dapat dengan cepat menyatakan ini adalah motif khas Semarangan, motif khas Wukirsari Bantul, motif khas Bayat Klaten, dan sentra-sentra batik lainnya.

Adanya tekanan bagi perajin seni ketika mereka harus mengembangkan karya mereka di luar model yang tradisional bukanlah hal yang mudah. Mau tidak mau untuk memenangi persaingan tekstil dan fashion, pengembangan industri batik tidak dapat lagi menggunakan pola-pola tradisional. Salah satu konsep yang ditawarkan oleh Davies dan Ford (2000) untuk pengembangan industri berbasis seni adalah konsep culturepreneur. Culturepreneur merupakan hybrid professional yang mengemas dan menjual produk seni ke pelanggan, menyediakan jembatan agar komunitas seni dapat berhubungan dengan dunia bisnis dan pembuat kebijakan. Kunci keberhasilan culturepreneur adalah kemampuan untuk memproses sejumlah besar informasi, berpikir strategis, dan mengembangkan komunikasi dengan jaringannya.

Pengembangan komunikasi untuk penciptaan jejaring tidak bisa dilakukan sendiri oleh perajin karena membutuhkan pihak lain baik swasta maupun pemerintah yang memiliki akses lebih luas untuk terlibat didalamnya. Peran pemerintah dan pengusaha untuk memfasilitasi eksebisi, pameran batik atau karnaval semacam SBC tentunya akan mendukung pembentukan jejaring dan pasar yang lebih luas.

SBC: momen yang tepat

Tampaknya SBC kali ini dapat menjadi saat yang tepat untuk pengembangan industri batik. Keterlibatan berbagai unsur dalam penyelenggaraan SBC menunjukkan bahwa jejaring produk dan pemasaran dapat dibangun secara sinergis, dan yang terpenting adalah pada karnaval ini terlihat betapa besar pasar yang bisa digarap oleh industri batik.

Political will pemerintah tampaknya tetap memegang peran penting, karena pasar batik tidak akan dapat berkembang apabila diserahkan pada mekanisme pasar semata. Pemerintah mungkin perlu sedikit melakukan ‘pemaksaan’ agar produk batik tidak terlibas oleh produk tekstil Cina misalnya. ‘Pemaksaan’ ini perlu dilakukan misalnya dalam bentuk penyelenggaraan karnaval batik berkala, pemakaian baju batik pada hari tertentu, atau pun kunjungan wajib wisatawan ke desa wisata batik terpadu. Upaya yang sederhana, namun akan memberikan efek turunan yang besar dan panjang.

SBC menjadi saat yang tepat bagi kita, anak bangsa, untuk mulai memperhatikan industri batik. Dan pastinya tidak ada kata terlambat bagi semua pihak untuk mulai mencintai, dan tidak sekedar mencintai, namun mau membeli, bersedia memakai, dan mempromosikan batik mulai dari orang-orang terdekat dengan kita.