Solo Batik Carnival (SBC) yang diselenggarakan pada 13 April 2008 di sepanjang Jalan Slamet Riyadi Solo, tidak saja menunjukkan kegairahan baru dalam dunia batik di Solo, namun juga menjadi trend tekstil dan fashion di Indonesia. Bagaimana tidak? Kalau diamati secara seksama, mulai awal Januari 2008 ini, banyak sekali selebritas tanah air yang dulunya international designer-minded, sekarang wira-wiri menggunakan batik. Mungkin memang kita harus ‘tertampar’ oleh kasus hak paten batik terlebih dahulu sebelum berani bangga atas lokalitas kita. SBC yang besar dan ramai ini, tentunya akan sangat sayang bila hanya lewat begitu saja tanpa memiliki makna bagi bangkitnya industri batik di Jawa (dan bahkan lebih luas lagi di
Culturepreneur untuk pengembangan batik
SBC sendiri menunjukkan adanya sinergi yang kuat dan unik antara perajin batik, pelaku ekonomi dan pemerintah. Sinergi ini tentunya menarik dan penting, karena pengembangan industri batik bukanlah hal yang mudah. Industri batik memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan industri lain. Industri batik menjadi unik karena industri ini merupakan perpaduan antara seni, teknologi dan ekonomi. Tidak semua perajin batik mampu memadukan ketiga unsur ini dalam rutinitas produksinya.
Masalah ini lebih dirasakan oleh industri batik yang tidak diproduksi masal namun batik tulis yang diproduksi secara tradisional. Sebagai seniman tradisional yang menorehkan cantingnya berdasarkan feeling dan ragam corak yang mentradisi, perajin batik cenderung bersifat moody. Sifat moody, suatu ciri seniman yang murni seniman dan belum terkontaminasi oleh ekonomisasi seni, membuat karya batik yang dihasilkan tidak ajeg, sehingga sulit untuk memenuhi pesanan dalam jumlah besar dan kontinyu. Padahal tuntutan pasar dewasa ini (terutama pasar ekspor) adalah disain batik yang unik, tidak ‘pasaran’, serta mampu mempertahankan pasokannya.
Menurut Moxey dan Studd (2000), industri yang berbasis seni seperti batik, harus selalu mengembangkan produk baru. Pengembangan disain produk ini tidak mudah. Kesulitan yang melekat pada disain produk seni adalah mendefinisikan keinginan pelanggan dan penciptaan disain yang mampu menjadi trend pada masa yang akan datang. Motif baru batik dapat didorong dengan pelibatan institusi pendidikan seni dalam bentuk lomba disain atau pembuatan motif baru, sehingga ketika melihat motif tertentu dalam batik, pelanggan dapat dengan cepat menyatakan ini adalah motif khas Semarangan, motif khas Wukirsari Bantul, motif khas Bayat Klaten, dan sentra-sentra batik lainnya.
Adanya tekanan bagi perajin seni ketika mereka harus mengembangkan karya mereka di luar model yang tradisional bukanlah hal yang mudah. Mau tidak mau untuk memenangi persaingan tekstil dan fashion, pengembangan industri batik tidak dapat lagi menggunakan pola-pola tradisional. Salah satu konsep yang ditawarkan oleh Davies dan Ford (2000) untuk pengembangan industri berbasis seni adalah konsep culturepreneur. Culturepreneur merupakan hybrid professional yang mengemas dan menjual produk seni ke pelanggan, menyediakan jembatan agar komunitas seni dapat berhubungan dengan dunia bisnis dan pembuat kebijakan. Kunci keberhasilan culturepreneur adalah kemampuan untuk memproses sejumlah besar informasi, berpikir strategis, dan mengembangkan komunikasi dengan jaringannya.
Pengembangan komunikasi untuk penciptaan jejaring tidak bisa dilakukan sendiri oleh perajin karena membutuhkan pihak lain baik swasta maupun pemerintah yang memiliki akses lebih luas untuk terlibat didalamnya. Peran pemerintah dan pengusaha untuk memfasilitasi eksebisi, pameran batik atau karnaval semacam SBC tentunya akan mendukung pembentukan jejaring dan pasar yang lebih luas.
SBC: momen yang tepat
Tampaknya SBC kali ini dapat menjadi saat yang tepat untuk pengembangan industri batik. Keterlibatan berbagai unsur dalam penyelenggaraan SBC menunjukkan bahwa jejaring produk dan pemasaran dapat dibangun secara sinergis, dan yang terpenting adalah pada karnaval ini terlihat betapa besar pasar yang bisa digarap oleh industri batik.
Political will pemerintah tampaknya tetap memegang peran penting, karena pasar batik tidak akan dapat berkembang apabila diserahkan pada mekanisme pasar semata. Pemerintah mungkin perlu sedikit melakukan ‘pemaksaan’ agar produk batik tidak terlibas oleh produk tekstil Cina misalnya. ‘Pemaksaan’ ini perlu dilakukan misalnya dalam bentuk penyelenggaraan karnaval batik berkala, pemakaian baju batik pada hari tertentu, atau pun kunjungan wajib wisatawan ke desa wisata batik terpadu. Upaya yang sederhana, namun akan memberikan efek turunan yang besar dan panjang.
SBC menjadi saat yang tepat bagi kita, anak bangsa, untuk mulai memperhatikan industri batik. Dan pastinya tidak ada kata terlambat bagi semua pihak untuk mulai mencintai, dan tidak sekedar mencintai, namun mau membeli, bersedia memakai, dan mempromosikan batik mulai dari orang-orang terdekat dengan kita.
No comments:
Post a Comment