Saturday, August 11, 2007

Inflasi yang rendah: suatu keberhasilan atau kebetulan

Perekonomian Indonesia akhir2 ini dianggap mempunyai kinerja yang cukup baik. Nilai rupiah mengalami penguatan, meski sempat terjadi fluktuasi, Neraca pembayaran juga mengalami perbaikan. Surplus neraca pembayaran menyebabkan “membengkaknya” cadangan devisa. Keuntungan dari kondisi ini tentu saja adalah menguatnya salah satu faktor fundamental yang menentukan nilai kurs. Keuntungan surplus neraca pembayaran ini melalui mekanisme transmisi kebijakan moneter secara perlahan mampu menekan inflasi menjadi cukup rendah.

Namun pada sisi lain muncul kecurigaan, apakah benar pencapaian inflasi yang rendah tadi merupakan buah dari sistem inflation targeting yang diterapkan oleh Bank Indonesia sebagai tujuan tungga kebijakan moneternya? Bila kita tidak mengurangi rasa apresiasi kita terhadap Bank Indonesia maka mungkin kita dapat berkata bahwa ini adalah andil besar dari kemampuan Bank Indonesia untuk mengelola instrumen kebijakannya sehingga target yang ditetapkan dapat dicapai. Di sisi lain, kita juga tidak dapat menutup mata bahwa pencapaian inflasi yang rendah ini bukan hanya karena kinerja sektor moneter, namun lebih karena melemahnya sektor riil. Kenaikan harga BBM tahun 2005 menyebabkan penurunan daya beli sehingga konsumsi rumah tangga mengalami stagnasi. Investasi melalui kredit perbankan juga tersendat, walaupun ada aliran kredit. Kredit yang tidak dicairkan (undisbursed loan) mencapai Rp 160 triliun. Jadi walaupun sepanjang tahun Bank Indonesia melakukan tindakan-tindakan yang ekspansif berupa penurunan suku bunga, yang seharusnya bisa dipahami bila hal ini berhasil dilakukan maka akan mendorong terjadinya inflasi. Implikasinya, bila terjadi inflasi berarti Bank Indonesia gagal menjaga stabilitas harga. Fakta yang terjadi, penurunan inflasi yang terjadi tidaklah signifikan. Hal ini membuktikan bahwa pukulan ikutan kenaikan harga BBM pada 2005, memiliki efek yang kuat dan lead yang panjang.

Instrumen yang dipakai Bank Indonesia ternyata tetap tidak mampu menggerakkan sektor riil. Masyarakat tidak cukup responsif terhadap suku bunga. Padahal suku bunga adalah instrumen andalan Bank Indonesia dalam mencapai tujuan kebijakannya. Ketika pergerakan suku bunga yang ekspansif ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap inflasi, maka tampaknya Bank Indonesia masih akan bermain dengan suku bunga ini untuk lebih mendorong pergerakan sektor riil dan mencapai pertumbuhan. Pertanyaannya adalah tepatkah tugas pemerintah sebagai agen pertumbuhan didelegasikan ke Bank Indonesia yang seharusnya menjaga stabilitas harga? Apakah ini tidak menimbulkan konflik kepentingan?

2 comments:

DANIAR NUR AZIZ BAQI said...

Inflasi yang rendah ?, selama ini indikator ekonomi kita apakah benar-benar akurat sih atau hanya dipakai sebagai alat politik kekuasaan untuk menunjukkan keberhasilannya. Masalahnya inflasi rendah nggak pengaruh banyak ama masyarakat bawah seperti kami, semua harga sudah terlanjur naik. bagi pengusaha kecil mereka tetap saja susah mendapatkan akses kredit untuk usaha. Jadi so what dengan inflasi?

Hamsar Lubis said...

Halo.... Apa kabar mbak Ika Rahutami....?

Menurut saya, inflasi di Indonesia lebih tepat dilihat sebagai fenomena sektor riil ketimbang fenomena moneter. Penyebab inflasi dari sektor riil tersebut seperti, distribusi barang yang tidak lancar, korupsi yang tinggi, masalah transportasi, minimnya keberadaan infrastruktur, struktur pasar (baik tingkat produsen maupaun distributor) yang cenderung oligopolistik, kesenjangan regional yang sangat mengaga,dan kurang lancarnya mobilitas sumberdaya ekonomi. Semua itu menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Oleh karena itu, solusi BI yang sangat rajin mengutak-utaik kebijakan moneter (memang tugasnya di situ) kadangkala tidak menyelesaikan masalah. Misalnya tingkat bunga yang terlalu tinggi, justru menyebabkan menumpuknya dana di BI (berupa SBI dan bentuk2 lain). Bahkan semakin memperburuk realisasi investasi, karena bunga SBI lebih menarik dari return on investment.
Disamping itu, sebagai negara berkembang, pasar modal dan pasar uang di Indonesia hanya digeluti sekelompok kecil pemain berduit. Bahkan BIE justru diramaikan oleh pemain asing. Karenanya kebijakan moneter kurang efektif (kayaknya) untuk mengendalikan perekonomian Indonesia. (Hamsar Lubis). Jika tertarik berdiskusi tentang Industri Manufaktur, kunjungi blog saya di www.hamsarlubis.blogspot.com