Thursday, March 5, 2009

KERUGIAN EKONOMI AKIBAT CUKAI ILEGAL HASIL TEMBAKAU - continued

Peran Cukai terhadap Penerimaan Negara

Cukai tembakau salah satu sumber penerimaan dalam negeri diluar etil alkohol dan minuman mengandung alkohol. Pengaturan cukai HT didasarkan pada Permenkeu No 203/PMK.011/2008, Peraturan Menteri Keuangan tertanggal 9 Desember 2008 dan diberlakukan per 1 Februari 2009. Peraturan ini merupakan pengganti dari Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04 tahun 2007 yang menjadi awal pemberlakuan cukai spesifik yang hampir seragam untuk seluruh produk tembakau. Hal ini merupakan perubahan yang cukup besar dari sistem cukai sebelumnya. Kebijakan tarif spesifik ini untuk memperbaiki struktur harga rokok di pasar, juga demi mengurangi distorsi dan kelangsungan industri hasil tembakau, serta memberi arah secara gradual bagi kebijakan cukai ke arah pola spesifik (TCS).

Cukai berasal dari tembakau sekitar 95% dari total penerimaan cukai, dan sekitar 8-9% dari total penerimaan negara. Enam perusahaan rokok menyumbang 88 persen penerimaan negara dari cukai tembakau (71% dikuasai oleh 3 perusahaan besar). Kontribusi industri rokok terhadap penerimaan negara pada 2006 sebesar Rp 38,4 triliun, tahun 2007 sebesar Rp 43,8 triliun (lebih tinggi dari target Rp 42,3 triliun). Dalam APBN 2009, penerimaan cukai ditargetkan sebesar Rp 49 triliun.

Dengan struktur permintaan yang inelastik maka kenaikan cukai memberikan dampak yang relatif kecil terhadap penurunan permintaan. Kenaikan cukai tersebut akan memberikan kontribusi terhadap tambahan penerimaan negara sebesar Rp 23,8 triliun sampai Rp. 75,8 triliun (US$ 2,6 sampai US$ 8,3 milyar).

Bagaimana cukai HT tersebut sampai ke daerah? Dana alokasi cukai HT ini akan dialokasikan seseuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60/PMK.07/2008 tentang Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2008, dan akan masuk dalam item pendapatan lain-lain yang sah. Seperti diketahui struktur APBD dari sisi penerimaan dapat dirinci sebagai berikut

1. Pendapatan asli daerah

2. Dana perimbangan

3. Lain-lain pendapatan yang sah

Dana alokasi cukai hasil tembakau 2008 merupakan bagian dari transfer ke daerah dalam bentuk dana penyesuaian 2008 dan digunakan untuk melaksanakan penugasan dari pemerintah sekurang-kurangnya untuk mengurangi cukai palsu, sosialisasi peraturan di bidang cukai, dan pemetaan industri rokok. Dana alokasi cukai hasil tembakau tahun anggaran 2008 yang dialokasikan kepada daerah penghasil cukai hasil tembakau ditetapkan sebesar Rp 200 miliar provinsi/kabupaten/kota. Untuk provinsi Jawa Tengah mendapatkan sebesar Rp 52.195.765.000. Dari dana tersebut, maka Pemprov Jawa Tengah akan memperoleh Rp15,65 miliar. Sedangkan sisanya untuk kabupaten/kota. Atau dari total dana yang diterima, Pemprov Jateng memperoleh 30%, kabupaten/kota potensi penghasil 40%, dan untuk pemerataan kabupaten/kota 30%.

Rokok Ilegal Tidak Hanya Merugikan Penerimaan Negara

Kenaikan pita cukai sebesar 7% menuai protes dan mendorong munculnya produsen rokok illegal. Protes para pengusaha rokok disebabkan pemerintah dinilai tidak konsisten dengan ‘road map’ hasil tembakau hingga tahun 2020 yang pada jangka pendek (2007-2010) seharusnya lebih diprioritaskan untuk pengembangan kesempatan kerja. Kenaikan pita cukai ini juga mendorong pertumbuhan produsen rokok ilegal pada tahun 2005 sampai tahun 2007 hingga mencapai 23 persen atau mencapai sekitar Rp 3 triliun hingga Rp 6 triliun per tahun. Rokok ilegal adalah rokok yang beredar di wilayah Indonesia baik berasal dari impor maupun produksi dalam negeri yang diidentifikasi tidak mematuhi aturan yang berlaku seperti tanpa pita cukai (rokok polos), menggunakan pita cukai palsu dan memakai pita cukai bekas. Selain itu, produksi rokok dinilai ilegal jika pita cukai tidak sesuai jenis dan golongannya, pita cukai bukan haknya serta rokok palsu dengan pita cukai palsu Dirjen Bea Cukai. Diperkirakan kerugian negara akibat pita cukai rokok ilegal mencapai Rp 5,2 triliun per tahunnya. Data pajak dari cukai yang seharusnya dibayar pabrik rokok berskala kecil dan menengah mencapai Rp 6,07 triliun per tahun. Namun pajak dari cukai yang masuk ke kas negara hanya Rp 816,25 juta.

Tapi benarkah bahwa cukai illegal hanya merugikan penerimaan negara, yang nantinya akan berdampak pada menurunnya dana alokasi cukai ke provinsi Jawa Tengah, dan pada akhirnya akan mengurangi penerimaan APDB, dan belanja pemerintah provinsi? Tampaknya tidak sesederhana itu. Beberapa hal di bawah ini merupakan hal yang perlu dihitung sebagai kerugian akibat rokok ilegal.

1. Tindakan ilegal adalah tetap tindakan yang melanggar, dan perlu diberi sanksi. Apabila produksi rokok ilegal tidak ditertibkan, maka berarti akan muncul rokok-rokok baru, dengan kualitas yang semakin tidak terkontrol, dan tentu saja akan memiliki mutu yang lebih rendah. Rokok sendiri merupakan barang yang merusak kesehatan masyarakat, apalagi rokok dengan kualitas rendah. Apabila melihat struktur konsumsi, maka yang akan mengkonsumsi rokok berkualitas rendah ini adalah masyarakat desa. Keterbatasan pendapatan masyarakat desa menyebabkan akses terhadap kesehatan pun buruk, dampak buruk kesehatan akibat rokok akan menjadi beban yang lebih besar lagi.

2. Rokok illegal yang dibiarkan semakin memberi persepsi kepada masyarakat internasional bahwa fenomena pollution havens terjadi di Indonesia. Standar polusi yang rendah, yang tercermin dari standar cukai rokok yang rendah (standar global cukai rokok adalah 70% dari harga jual). Data juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat kelima rata-rata tarif cukai rokok di ASEAN 2008 dengan tarif cukai rokok sebesar 37 persen. Sedangkan Thailand mencapai 63 persen, Malaysia 49-57 persen, Philippines 46-49 persen, Vietnam 45 persen. Kondisi ini akan membawa kerugian pada kualitas lingkungan dan kesehatan.

3. Kerugian atas kesejahteraan masyarakat. Ketika rokok ilegal tidak mendapat tindakan tegas, maka berarti membiarkan masyarakat tetap bekerja pada sektor yang sudah semakin disingkirkan dari dunia internasional. Hal ini tentunya tidak memberikan edukasi bagi masyarakat. Berdasarkan data, sebenarnya yang lebih banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor tembakau dan bukan industri rokok. Demikian juga dengan linkages yang diciptakan. Maka klaim dari perusahaan rokok ilegal sebenarnya lebih didasarkan pada kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan yang lebih luas.

Penutup: Kebijakan cukai perlu disertai dengan catatan

Berdasarkan paparan di atas, maka kebijakan cukai HT ini perlu disertai dengan beberapa catatan, agar tidak menimbulkan produksi rokok ilegal yang merugikan perekonomian.

kebijakan cukai yang diikuti oleh tindakan terhadap produsen rokok illegal, serta mengurangi dampak negatif dari perubahan cukai pada industri hulunya yaitu usahatani cengkih dan usahatani tembakau (non distortion effect).

Dana alokasi cukai rokok yang selama ini hanya ditujukan untuk mengurangi cukai palsu, sosialisasi peraturan di bidang cukai, dan pemetaan industri rokok seharusnya perlu ditambah dengan alokasi untuk penyiapan petani tembakau agar mulai beralih ke pertanian yang lebih sehat.

Dilakukannya edukasi, karena sebenarnya hasil simulai dampak kenaikan cukai tembakau sebanyak dua kali lipat akan menaikkan tenaga kerja sebanyak 0,3% (LDUI), bila pengeluaran rumah tangga dialihkan ke hal yang lebih produktif akan mendorong pertumbuhan ekonomi, dan pencegahan kematian perokok akan memberikan tambahan penerimaan negara sebesar Rp 29,1 triliun sampai Rp 59,3 triliun

No comments: